Selasa, 24 November 2009

Tiga Tempat di Indonesia yang menjadi Mimpiku





Pantai LOVINA
Lovina terletak di Bali Utara di pesisir utara Pulau Bali tepatnya sekitar 10 km arah barat Singaraja. Pantai Lovina berada di Desa Kalibukbuk, Kabupaten Buleleng, Bali. Karena itu, kadang orang menyebutnya sebagai kawasan wisata Kalibukbuk.

Pantai Lovina yang berpasir hitam ini masih alami sehingga menarik dikunjungi. Yang menarik di Pantai Lovina adalah perjalanan ke tengah laut di perairan Lovina. Anda dapat menjumpai lumba-lumba di perairan Lovina yang terletak sekitar 1 kilometer dari bibir pantai. Laut Bali yang berada di perairan Lovina relatif tenang sehingga Anda bisa berwisata di laut tersebut dengan menggunakan perahu nelayan.


Pulau Kaimana
Kaimana terletak di bibir pantai sebelah selatan Kepala Burung Pulau Papua, yang semula hanyalah sebuah kecamatan di Kabupaten Fakfak, dan baru resmi menyandang sebutan kabupaten lewat UU Nomor 26 Tahun 2002.

Kaimana, memang terkenal dengan panorama alamnya yang sungguh menakjubkan dan merupakan salah satu objek wisata andalan di wilayah ini. Tak heran bila ada yang menuliskannya dalam sebuah lagu “Senja Di Kaimana”, untuk melukiskan betapa indahnya lukisan alam Tuhan.



jalan Jaksa
jalan jaksa terletak di jakarta pusat, jalan ini sangat kecil dan sempit, sebenar tidak ada yang mewah dari jalan ini. tapi bila malam tiba jalan ini menjadi pusat manusia bule, serta terdapat beberapa bar sederhana untuk ngobrol serta penginapan yang murah.

yang menarik dari tempat ini ada seribu teka-teki yang sulit di jawab oleh manusia biasa. sudah sepuluh kali aku berkunjung ke tempat ini tapi belum dapat menebak teka-teki jalan jaksa...


ketiga tempat di atas adalah mimpiku untuk bisa menikmatinya...

Kamis, 19 November 2009

Nur Fadilah, Pemberantas Buta Aksara

Ketika mendengar Kota Kediri, Jawa Timur, menyatakan diri bebas buta aksara, Nur Fadilah merasa sedih. Terbayang di benaknya wajah-wajah warga di kampungnya, Desa Lebak Tumpang, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, yang belum mengenal aksara Latin dan angka, harus menelan kekecewaan karena tidak lagi diakui keberadaannya.

Kesempatan mereka untuk belajar menjadi tertutup seiring mandeknya kucuran dana dari pemerintah yang selama ini menyokong aktivitas di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), wadah bernaung murid-murid program pendidikan kesetaraan dan keaksaraan fungsional.

Nur Fadilah merasa dihadapkan pada sebuah dilema. Di satu sisi ia bangga karena kota kelahirannya, Kediri, berhasil menyandang predikat bebas buta aksara. Namun, di sisi lain ia prihatin karena predikat bebas buta aksara itu tidak lebih dari kepentingan politis. Faktanya, program pemberantasan buta aksara belum tuntas.

”Murid-murid saya adalah realitas yang tidak terbantahkan. Di Dusun Lebak saja ada 70 warga yang buta huruf dalam satu rukun tetangga (RT). Di Dusun Tumpang apalagi, jumlahnya mencapai ratusan orang. Apa jadinya mereka kalau program pemberantasan buta aksara dihentikan,” ungkap ibu tiga anak ini.

Kendati tidak mendapat pengakuan, semangatnya pantang mundur. Dia semakin giat memotivasi tetangganya untuk pergi ke PKBM Hidayatul Mubtadiin yang didirikannya.

PKBM Hidayatul Mubtadiin berdiri tahun 2004. Ada beberapa jenjang pendidikan yang diselenggarakan, yakni taman bacaan, taman kanak-kanak, pendidikan kesetaraan (Kejar Paket A, B, dan C), serta pendidikan keaksaraan fungsional.

Sebelum mendirikan PKBM, Nur Fadilah yang menjadi guru tidak tetap di SDN Lebak Tumpang telah mengajar untuk warga buta aksara di sekitarnya. Ia ”bergerilya” dari satu rumah warga ke rumah warga lainnya.

Dia terkejut karena mayoritas warga di sekitarnya buta aksara Latin dan angka. Umumnya warga lelaki bekerja sebagai buruh kasar, sementara kaum perempuannya menjadi pemecah batu kali di tepi Sungai Brantas.

”Waktu itu saya menemukan 100 orang lebih (buta aksara) sehingga kewalahan jika mengajar seorang diri dari rumah ke rumah. Saya melaporkan temuan tersebut kepada dinas pendidikan,” katanya.

Atas saran dari Dinas Pendidikan Kota Kediri, Nur, panggilannya, mendirikan PKBM dan diberi nama Hidayatul Mubtadiin. Awalnya ia tetap berkeliling mendatangi murid-muridnya. Tak hanya di rumah, tetapi ia juga mendatangi tepian sungai tempat para muridnya bekerja.

”Di mana ada kesempatan di situ kami belajar. Capek memecah batu, mereka beristirahat, ya sambil belajar. Kalau mengandalkan belajar harus di kelas, tak akan pintar-pintar,” ujarnya.

Malam hari

Seiring bertambahnya jumlah murid, Nur lalu merekrut sukarelawan sebagai tutor PKBM. Sedikitnya ada empat tutor yang bergabung. Mereka rela mengajar tanpa dibayar.

Kegiatan PKBM diadakan malam hari, di ruang kelas sebuah sekolah milik yayasan swasta. Waktu dipilih malam hari agar tak berbenturan dengan kegiatan belajar reguler sekolah itu. Masalah waktu bagi para murid PKBM yang harus bekerja pada siang hari juga teratasi.

Namun, masalah lain muncul. Para murid yang umumnya bapak-bapak dan ibu rumah tangga itu enggan masuk sekolah. Mereka beralasan lelah setelah seharian bekerja. Sebagian lagi mengaku sakit mata sehingga sulit membaca buku. Ada juga yang terus terang menyatakan bosan.

Untuk mengatasinya, istri Sukardi ini memutar otak. Awalnya, ia mengundang tukang kacamata ke desanya. Para murid dijanjikan diperiksa mata gratis apabila mau datang ke sekolah. Mereka juga akan mendapatkan kacamata gratis.

Sebagian besar murid meminta kacamata untuk membaca karena pandangannya kabur dimakan usia. Nur bekerja sama dengan penjual kacamata keliling yang menjual kacamata baca seharga Rp 10.000.

”Tak perlu mahal, apalagi berstandar optik. Yang penting murid-murid senang dan tidak punya alasan lagi buat bolos sekolah karena sakit mata,” ujarnya tersenyum.

Keterampilan memasak

Untuk meningkatkan pengetahuan para murid, Nur juga memberikan pelatihan keterampilan memasak. Bahkan, untuk menarik murid agar datang ke sekolah, ia pun menonjolkan kegiatan keterampilannya daripada belajar membaca dan menulis.

Hati Nur berbunga saat melihat murid-muridnya kembali semangat masuk sekolah. Namun, kesenangan itu tak berlangsung lama. Ia mulai kehabisan ”amunisi” untuk membiayai praktik memasak. Sebagai guru tidak tetap, penghasilannya tidak lebih dari Rp 200.000 per bulan. Itu pun harus dipotong biaya transportasi dari rumah ke tempat dia mengajar. Penghasilan suaminya sebagai pegawai negeri sipil habis untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan ketiga anaknya.

Nur lalu membuat kegiatan yang menghasilkan uang tambahan. Caranya, dia menghimpun para ibu untuk membuat geplak jahe (sejenis manisan) dan minuman sari kencur. Produk yang dihasilkan itu dipasarkan dan uangnya bisa diputar untuk modal usaha.

Namun, masalah yang dihadapi Nur belum tuntas. Dia harus mulai memikirkan kelanjutan para tutor yang juga membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan mereka.

”Kami punya empat tutor. Kalau mereka bekerja terus-terusan tanpa digaji, kasihan juga. Sementara menarik uang dari murid tidak mungkin. Mereka mau masuk sekolah saja sudah syukur,” ujarnya.

Untuk membiayai tutor, Nur memilih budidaya jamur tiram. Alasannya, modal usaha yang diperlukan tidak terlalu besar, sekitar Rp 2 juta per kelompok.

Selain melibatkan murid-muridnya, Nur juga menggandeng kelompok ibu-ibu tim penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Maka terhimpun sedikitnya enam kelompok budidaya jamur, dengan setiap kelompok memiliki anggota 4-6 orang. Dari enam kelompok itu, empat di antaranya aktif. Adapun dua kelompok lainnya mati suri akibat kurangnya komunikasi, kerja sama, dan ketekunan dalam berusaha. Selain itu, modalnya sangat cekak sehingga sulit bernapas jika ada anggota yang ngebon dulu.

Perlahan tapi pasti, ketergantungan pada utang mulai terkurangi. Penghasilan tambahan dari budidaya jamur mampu menambal kebutuhan hidup mereka, walaupun sedikit demi sedikit. Masyarakat pun mulai tergerak untuk bekerja dan hidup mandiri.

sumber; http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/18/03372915/nur.fadilah.pemberantas.buta.aksara.

Selasa, 17 November 2009

Tukang Sapu di Pulau Kemaro


Ada seorang perempuan tua yang menjadi tukang sapu pelataran Kelenteng Toa Pek Kong di Pulau Kemaro, Kota Palembang. Selama enam tahun terakhir, ia menghabiskan waktu untuk menyapu mulai dari matahari terbit hingga terbenam.

Ayuning (70), nama perempuan tua itu. Bersama Abdullah, almarhum suaminya, Ayuning mulai tinggal di Pulau Kemaro lebih dari 30 tahun silam.

Abdullah, suaminya, dulu bekerja sebagai tukang sapu di kelenteng yang berdiri di tengah-tengah Pulau Kemaro. Ayuning sendiri membantu ekonomi keluarga dengan berjualan makanan dan minuman di halaman kelenteng.

Setelah Abdullah meninggal, sepuluh tahun lalu, Ayuning menggantikan pekerjaan suaminya itu. Warung tempat dia berjualan dulu kemudian diwariskan ke anaknya yang juga tinggal di pulau seluas empat hektar itu.

”Sebenarnya Ayuning tidak secara resmi bekerja sebagai tukang sapu di sini, tetapi karena kasihan, yayasan akhirnya memberikan uang Rp 200.000 per bulan,” kata Linda (46), juru kunci kelenteng.

Sabtu (14/11) siang itu, seperti biasanya, Ayuning menyapu pelataran. Cara menyapunya berbeda dengan umumnya tukang sapu. Ia tidak banyak berdiri, melainkan jongkok.

Sapu dengan gagang panjang pun lebih banyak istirahat karena perempuan tua itu lebih banyak menggunakan kayu pendek untuk menyapu sampah. Dengan instrumen itu, guguran dedaunan dan sampah plastik digiringnya ke sudut pelataran.

Ayuning yang masih memiliki ingatan kuat tersebut juga meratakan dan menggemburkan tanah. Semua dilakukan dengan tekun, teliti, dan perlahan-lahan.

Menurut Sumiati (40), menantu Ayuning, mertuanya itu menyapu pelataran mulai jam 06.00 sampai 17.00. Istirahat hanya dilakukan saat makan siang. Artinya, selama delapan jam penuh, Ayuning menyapu pelataran. Itu semua dilakukannya dengan posisi jongkok.

Hari tua

Sejumlah wisatawan berjalan lalu-lalang di atas trotoar, tak jauh dari tempat Ayuning menyapu. Namun, hal itu tak sedetik pun mengalihkan perhatian Ayuning. Bahkan, nyamuk yang berulang kali hinggap dan menggigit kulit wajahnya pun tak pernah membuyarkan perhatiannya dari guguran dedaunan yang disapunya.

Ayuning tak banyak berkisah tentang dirinya. Ia juga lebih banyak tersenyum saat ditanya tentang pilihannya menghabiskan sisa hidup dengan menyapu.

”Saya ini sudah tua. Jadi daripada tak ada kerja, lebih baik nyapu-nyapulah,” kata Ayuning lugas.

Ayuning mungkin bukan siapa-siapa di Kota Palembang, apalagi dibandingkan dengan pengusaha yang memiliki pabrik-pabrik yang memberikan pendapatan asli daerah.

Namun, setidaknya, Ayuning tidak punya niat apalagi kemampuan membuang limbah kimia ke Sungai Musi. Yang dilakukannya hanya menjaga agar Pulau Kemaro, salah satu ikon wisata Kota Palembang, senantiasa bersih.

Menyapu selama delapan jam per hari di sisa umur, siapa pernah bermimpi. Namun, di Pulau Kemaro, ada satu perempuan tua yang melakukannya. (LAS)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/17/02481334/tukang.sapu.di.pulau.kemaro

Kamis, 12 November 2009

EMAK INGIN NAIK HAJI

Emak, wanita usia lanjut yang sabar, tulus, dan penuh kebaikan hati, seperti umat Islam lainnya, sangat ingin menunaikan ibadah haji. Sayangnya, Emak tidak memiliki biaya untuk mewujudkan keinginannya. Emak sehari-hari berjualan kue dan juga dari Zein, anaknya yang duda, penjual lukisan keliling. Walaupun Emak tahu bahwa pergi haji adalah hal yang sulit diraih, Emak tidak putus asa, dia tetap mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk disetorkan ke tabungan haji di bank. Zein, yang melihat kegigihan Emak, berusaha dengan berbagai cara untuk dapat mewujudkan keinginan Emak. Tapi, keterbatasannya sebagai penjual lukisan keliling, serta masalah-masalah yang diwarisinya dari perkawinannya yang gagal, menyebabkan Zein hampir-hampir putus asa dan nekat. Sementara, tetangga Emak yang kaya raya sudah beberapa kali menunaikan haji, apalagi pergi umroh. Di tempat lain ada orang berniat menunaikan haji hanya untuk kepentingan politik

Apakah ada jalan bagi Emak agar keinginannya terwujud? Apakah yang dilakukan Zein? Diwarnai berbagai drama yang saling jalin-berkelindan, film ini berkisah tentang ketulusan hati dan kerinduan kepada Tuhan, serta kecintaan luar biasa seorang anak kepada ibunya

Pagi Jadi Guru, Siang Jadi Tukang Cuci Piring

Belasan bocah semringah menjalani ritual menjelang pulang sekolah di Taman Kanak-kanak Bakti Putra I di Desa Pringsari, Kecamatan Pringapus, Rabu (11/11) sekitar pukul 10.00. Mereka menyanyikan lagu perpisahan sembari bertepuk tangan. Uniah (39), guru kelas yang mengajar di TK di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, itu terus tersenyum. Setelah membimbing murid berdoa, ia mengulurkan tangan menyalami siswa yang pamit pulang. Begitu siswa terakhir meninggalkan ruangan, Uniah bergegas menuju ruang guru.

Ia menyambar tas tangan lalu menggandeng anak keempatnya, Rama (4), yang menunggu di ruangan itu. Rama masih sesenggukan. Ia menyeka hidungnya dengan tangan. Sisa air mata belum terhapus dari sudut matanya. ”Sudah, sabar, ya, Nak. Nanti saja jajannya. Belum ada uang,” ujar Uniah.

Ia lalu menuntun Rama berjalan kaki menuju warung makan milik Adibatun (30). Warung sederhana berdinding papan dan berlantai tanah itu terletak sekitar 20 meter dari muka Pabrik Buana Intisari Garmen di Kelurahan Pringapus, lebih kurang 1 kilometer dari TK tempat Uniah mengajar.

Seusai menyapa pemilik warung, Uniah menggulung lengan baju dan mulai mencuci piring serta perabot kotor di warung itu. Rama disuruhnya duduk di warung yang masih lengang. Selesai mencuci, perempuan asal Pandeglang, Banten, itu menggoreng tempe. ”Lumayan sudah setahun terakhir ini saya diperbolehkan bantu-bantu Mbak Adib. Ia sudah seperti saudara sendiri,” tutur Uniah.

Sebelum suaminya mencoba peruntungan bekerja di Cikarang, Bekasi, setahun lalu, Uniah membantu suaminya membuat sandal dari karet dengan penghasilan maksimal Rp 30.000 per hari.

Setiap hari Uniah datang ke warung pukul 05.30. Satu jam kemudian ia pamit mengajar. Selepas menunaikan tugasnya itu, ia kembali ke warung. Apabila masih ada waktu, ia pulang ke kamar indekos, sekitar 500 meter dari warung itu, bertukar pakaian sambil menengok Zahra (1), anak perempuannya yang dititipkan ke tetangga.

Tidak ada upah yang pasti atas jasa mencuci piring dan kerja serabutan di warung itu. Adib sesekali memberi uang Rp 5.000 atau Rp 10.000 jika hasil warung berlebih. Namun, Uniah sudah terbantu dengan diperbolehkan makan gratis di warung itu, termasuk untuk dua anaknya, Rama dan Fauzi (7).

Upahnya sebagai guru TK sangat tak mencukupi. Setiap bulan ia hanya menerima honor bersih Rp 180.000, ditambah transportasi Rp 30.000 dan uang minum Rp 20.000. Ia sedikit terbantu dengan insentif Rp 200.000 per bulan dari pemerintah yang diberikan enam bulan sekali.

Uniah mengaku suaminya setiap bulan mengirim Rp 500.000. Namun, uang tersebut habis untuk membeli susu dan kebutuhan sekolah anaknya. Ia tinggal menumpang di kamar indekos milik warga Pringapus yang iba kepadanya. Ia hanya dibebani membayar biaya listrik di kamar tersebut.

Rumahnya di Desa Pringsari yang cukup jauh dari warung itu dibiarkan kosong setelah listrik diputus PT PLN lantaran ia tak sanggup membayar tagihan.

”Saya sempat mau berhenti mengajar dan cari pekerjaan lain atau buka warung, tetapi orangtua murid menahan. Saya jadi enggak tega,” tutur Uniah yang sudah 10 tahun mengajar di TK Bakti Putra I.

Pariyati (29), guru lainnya, juga hanya menerima honor Rp 180.000 per bulan. Uang itu malah hanya habis untuk biaya transportasi dari rumahnya di Ungaran Barat menuju TK yang berjarak sekitar 10 kilometer. Saat dua tahun lalu melamar menjadi guru di sana, ia tergiur bisa diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Namun, mimpi itu kandas lantaran tidak lagi ada formasi untuk guru TK.

”Sekarang ini saya sudah enggak bisa mundur. Kalau enggak ada lagi yang mau mengabdi seperti kami ini, lalu siapa lagi yang mau,” tuturnya.

Berbeda dengan Uniah yang sampai harus bekerja sampingan sebagai tukang cuci piring, untuk kebutuhan sehari-hari Pariyati masih mendapat pasokan dari suaminya yang bekerja di sebuah perusahaan di Ungaran. Kebutuhan hidupnya bersama dua anak yang duduk di kelas V dan I SD terpenuhi dari penghasilan suami.

Marzukoh, Ketua Yayasan Pertiwi yang menaungi sekolah itu, bertutur, rendahnya upah guru TK tidak terlepas dari minimnya dana yang didapat yayasan. Sebagai TK swasta, operasional sekolah bergantung pada sumbangan orangtua murid yang hanya Rp 20.500 per bulan. Itu pun sebagian masih menunggak. Tahun ini, honor terpaksa dipangkas Rp 30.000 karena guru bertambah dari tiga orang menjadi empat orang. Guru baru, Iluh (26), hanya bisa diberi honor Rp 150.000 per bulan. ”Itu pun kami sudah tertolong dari bantuan desa untuk menutupi kekurangan anggaran sekitar Rp 2 juta setahun,” ucapnya.

Menurut Ketua Forum Komunikasi Guru TK Swasta Kabupaten Semarang Ida Nur Farida, kondisi Uniah dan Pariyati merupakan wajah sebagian besar guru TK swasta di Kabupaten Semarang. Setidaknya terdapat 1.082 guru TK swasta di Kabupaten Semarang dengan tingkat pendidikan SD sebanyak 10 orang, SMP (46), SMA (522), D-2 (359), dan S-1 (145). ”Bahkan, ada guru yang hanya mendapat honor Rp 50.000 per bulan. Akhirnya, mereka harus bekerja sampingan untuk bertahan hidup,” tuturnya.

Ia mengakui ada beberapa TK di perkotaan yang mampu memberi upah guru di atas Rp 1 juta, tetapi itu masih bisa dihitung dengan jari. Mayoritas kesejahteraan guru TK di pedesaan masih sangat minim karena manajemen yayasan belum baik sehingga bergantung pada sumbangan orangtua murid. Padahal, kemampuan ekonomi masyarakat desa terbatas.

Ia berharap pemerintah membantu dengan meningkatkan insentif bagi guru TK. Selain itu, pencairan dana insentif hendaknya dipercepat menjadi paling lama tiga bulan sekali, bukan enam bulan seperti saat ini.

Guru TK yang upahnya kecil itu mampu bertahan terdorong rasa memiliki TK dan pengabdian. Sebab, TK merupakan pendidikan anak usia dini yang formal dan menjadi fondasi anak sebelum menjejakkan kaki ke sekolah dasar.

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/12/02363688/pagi.jadi.guru.siang.jadi.tukang.cuci.piring

Rabu, 11 November 2009

emak...ku

emakku sayang..... ineu ateiku
oa... nien pengasei idup nak taneak ratau
adik sanak oa... kute lok cerito bebagei asei.

ineu uku ngen taneak jang
tengen belek mulang sadei...
tmotoa bioa mesoa kan nak plelea bioa

adik sanak uku lak becerito ngen udi kute
kunei taneak ratau...
smido idup bilei-bilei mesoa gen idup nak kedong bilei

ini bait rindu kepada sang ibu yang ada di kampung halaman kabupaten kepahiang

Laila

Putu Wijaya

Menangis tidak selamanya tanda kelemahan. Tapi istri saya tidak bisa menafsirkan lain, ketika melihat kucur air mata Laila.

”Ada apa lagi Laila,” tanya istri saya. ”Kok nangis seperti sinetron, kapan habisnya?”

Tangis Laila bukannya berhenti, malah tambah menjadi-jadi. Saya cepat memberi kode rahasia supaya interogasi itu jangan dilanjutkan. Besar kemungkinan, itu taktik minta gaji naik.

”Laila itu bukan jenis pembantu murahan yang mata duitan. Dia orang Jawa yang tahu diri, memangnya kamu!” bentak istri saya, sambil menarik Laila bicara empat mata.

”Dia punya konflik,” kata istri saya kemudian. ”Suaminya kurang ajar. Masak memaksa Laila banting tulang, tapi dianya ngurus anak ogah! Primitif banget! Laki-laki apa itu? Giliran anaknya kena DB dibiarin saja. Coba kalau sampai mati bagaimana? Pasti si Laila lagi yang disalahin! Memangnya perempuan WC untuk nampung kotoran?!”

”Terlalu!”

”Sekarang si Romeo nyuruh Laila berhenti lagi!”

”Berhenti?”

”Ya! Apa nggak gila?! Kalau Laila tidak kerja mau ngasih makan apa si Arjuna?”

”Kali Laila dapat kerjaan baru.”

”Mana ada orang mau menerima pembantu yang tiap sebentar pulang, karena anaknya nangis!”

”Jadi Laila akan berhenti?”

”Tidak! Biar Laila bawa Arjuna kemari, jadi kerjanya tenang.”

”Boleh sama si Romeo?”

”Memang itu yang dia mau!”

Saya menarik nafas. Sejak itu, Arjuna yang baru lima tahun itu jadi bagian dari rumah kami. Kalau dia nangis, sementara ibunya memasak, sedangkan istri saya sibuk, itu tanggung jawab saya.

Mula-mula berat. Tapi kemudian terjalin persahabatan indah antara saya dan Arjuna. Saya bahkan merasa tersanjung ketika Arjuna memanggil saya Pakde.

Sudah 11 tahun saya dan istri merindukan anak. Kami sudah capek menjalani nasehat dokter. Akhirnya kami ambil kesimpulan, tugas manusia memang beda-beda. Kami mungkin bukan mesin reproduksi manusia.

Kehadiran Arjuna membuat rumah berubah. Kelucuan bahkan kebandelan Arjuna menyulap tiap hari jadi beda. Sampai-sampai istri saya memanggilnya si Buah Hati.

Tapi pulang dari mudik, saya terkejut. Di dapur terdengar suara ketawa beberapa orang anak. Ternyata di situ ada lima bocah hampir seusia Arjuna sedang main petak umpet. Mereka sama sekali tidak takut oleh kehadiran saya.

”Itu anak-anak pembantu-pembantu sebelah.”

”O ya?”

”Ya, orangtuanya juga sibuk kerja, jadi anaknya tidak ada yang ngurus. Daripada mereka jadi gelandangan atau korban narkoba, aku suruh saja main di sini nemani si Buah Hati,” kata istri saya.

Mula-mula saya keberatan. Satu anak tertawa dalam rumah, memang lucu. Tapi enam orang, saya akan kehilangan privasi.

Ketika saya sedang bekerja di meja, semuanya seliwar-seliwer di depan pintu. Kalau saya menoleh mereka mencelup. Punggung saya terasa gatal ditancapi tatapan. Saya kira mereka mulai kurang-ajar.

”Kamu frustrasi!” komentar istri saya sambil tertawa,

”Persis!”

”Karena kamu kurang peka!”

Saya berpikir. Istri saya terus ketawa.

”Kamu tidak peka. Anak-anak itu tahu kamu baru kembali dari mudik. Mereka menunggu.”

”Menunggu apa?”

”Biasanya kalau pulang mudik orang bawa oleh-oleh.”

”Aku bawa untuk Arjuna, bukan untuk mereka!”

”Mereka semua anak-anak. Kamu harus berikan sesuatu kepada semuanya.”

Istri saya mengulurkan sebuah kantung plastik yang penuh coklat.

”Bagikan ini pada mereka!”

Saya takjub, tapi tak bisa menolak.

Sejak peristiwa itu, rumah saya seperti penitipan anak. Kerap ibu-ibu tetangga karena keperluan yang mendesak menitipkan anak di rumah kami. Anaknya pun senang bahkan mereka menganjurkan agar dirinya dititipkan.

Untung saya cepat membiasakan diri. Apalagi keadaan itu membuat gengsi kami naik. Istri saya menjadi popular. Saya sering dipuji sebagai lelaki sejati.

Tetapi kemudian Laila kembali menangis.

”Si Romeo bertingkah lagi!” umpat istri saya setelah mengusut Laila, ”bayangkan, masak dia minta dibelikan motor!”

”Motor? Emang mau ngojek.”

”Boro-boro ngojek, naik motor juga nabrak melulu!”

”Terus untuk apa?”

”Menurut Laila itu mau disewakan Romeo pada tukang ojek. Laila minta gajinya setengah tahun di bayar di muka.”

”Kamu tolak kan?!”

”Gimana ditolak? Laila diancam akan digebukin kalau tidak berhasil.”

Saya jadi penasaran. Lalu saya mencecer Laila.

”Laila, cinta itu tidak buta. Kalau suami kamu terus dituruti, kepala kamu bisa diinjaknya. Suami pengangguran yang mengancam dibelikan motor oleh istri itu bukan saja menginjak, tapi itu sudah explotation de l’home par l’home tahu?!”

”Ya Pak.”

”Kamu mengerti?”

”Mengerti, Pak.”

”Suami yang baik boleh dihormati, tapi yang jahat tendang!”

Laila tunduk dan mulai menangis.

”Kamu kok cinta mati sama si Romeo, kenapa? Jangan-jangan kamu sudah kena pelet!”

”Saya hanya mau berbakti kepada suami, Pak!”

”Itu bukan berbakti, tapi sudah bunuh diri!”

”Orangtua saya selalu berpesan, suami itu guru, Pak. Kata Ibu saya, tidak boleh membantah kata suami, nanti tidak bisa masuk surga!”

”Tapi kelakuan si Romeo kamu itu sudah melanggar HAM!”

Laila menunduk dan meneruskan menangis. Hanya motor yang bisa menyetop air matanya. Terpaksa saya mondar-mandir ke sana ke mari untuk mencari info motor bekas. Beruntunglah salah satu satpam bangkrut karena kalah berjudi. Dia jual murah motornya. Langsung saya bayar, daripada kehilangan Laila.

”Ah?! Ngapain mesti peduli semua permintaan Laila,” kata istri saya marah-marah, ”Kalau kamu manjakan dia begitu, sebentar lagi dia akan menginjak kepala kita! Pembantu itu jangan dikasih hati. Kalau dia mau berhenti, biarin. Kita cari yang lain!”

Tapi kemudian istri saya sendiri yang menyerahkan kunci motor bekas itu kepada Laila.

”Ini motornya, Laila. Cicil berapa saja tiap bulan, asal kamu jangan keluar!”

Laila mencium tangan istri saya dengan terharu. Saya juga mendapat perlakuan manis. Laila kelihatan sangat bahagia. Sambil nyuci ia menyenandungkan lagu Nike Ardila.

Tapi itu hanya berlangsung sebulan.

”Si Romeo itu memang kurang ajar!” teriak istri saya kemudian, ”Motor sudah digadaikan lagi, katanya nggak ada yang doyan nyewa motor bekas!”

Saya bengong. Dengan mata berkaca-kaca Laila minta maaf. Katanya, suaminya diancam akan dibunuh kalau tidak melunasi hutangnya setelah kalah taruhan bola.

Istri saya mencak-mencak. Tapi kemudian ia mendesak saya menebus motor itu dengan janji, Romeo dilarang menyentuhnya.

”Kamu saja yang boleh naik motor itu Laila! Yang lain-lain, haram!”

Sejak itu Laila masuk kerja menunggang motor. Mobilitasnya lebih rapih. Dia selalu datang tepat waktu. Anaknya bangga sekali duduk di boncengan. Meski para pembantu lain keki, menganggap nasib Laila terlalu bagus, tidak kami pedulikan. Yang penting, Laila tetap setia di posnya.

”PRT seperti Laila memang perlu punya motor, supaya tenaganya tidak terkuras di jalanan. Motor itu bukan untuk dia, tetapi untuk kepentingan kami juga,” kata istri saya kepada ibu-ibu tetangga.

Tak terduga argumen itu patah, ketika pada suatu hari Laila muncul tanpa motor. Hari pertama saya diam saja. Pada hari ketiga saya tidak kuat melihat dia pulang menggendong Arjuna sambil menenteng tas besar.

”Motor kamu mana, Laila?”

”Dipakai saudara misan saya, si Neli, Pak.”

”Kenapa?”

”Kerjanya lebih jauh, Pak.”

”Kenapa dia tidak naik angkot saja?”

”Nggak boleh sama suami saya, Pak.”

Saya bingung. Kemudian saya baru tahu, Neli saudara misan Laila sekarang tinggal bersama Laila satu rumah.

”Itu motor kamu Laila, tidak boleh dipakai orang lain!”

”Tapi suami saya bilang begitu, Pak. Saya harus mengalah sebab di pabrik tempat Neli kerja aturannya keras. Kalau datang telat bisa dipecat.”

”Kamu juga harus tepat waktu sampai di sini, Laila!”

”Betul, Pak.”

”Ambil motor itu kembali!!!!!!”

Besoknya Laila masuk kerja tepat waktu. Tapi dia naik ojek. Saya marah.

”Maksudku kamu tidak hanya datang tepat waktu, tapi harus pakai motor kamu! Kalau kamu datang ke mari naik ojek, lebih baik jangan kerja!”

Laila bingung. Dia tidak mengerti apa maksud saya. Istri saya mencoba menjelaskan. Tapi bukan menjelaskan kepada Laila, dia justru menerangkan kepada saya.

”Laila tidak berani minta motor itu karena takut digampar si Romeo.”

Saya bingung.

”Kenapa bangsat itu malah ngurus misannya, bukan istrinya?”

”Sebab misan Laila itu perempuan !”

”Gila! Istrinya juga perempuan!”

”Tapi perempuan itu lebih muda! Dan Romeo sudah mau menikahi si Neli!”

Saya megap-megap.

”Ya Tuhan! Kenapa Laila nerima saja dikadalin begitu?

Istri saya hanya mengangguk.

”Sekarang memang banyak orang gila!”

Langsung saya interogasi Laila di dapur.

”Kenapa kamu terus mengalah Laila? Suami kamu sudah kurang ajar. Jangankan mau menikahi misanmu, mengancam kamu membelikan pacarnya motor saja, sudah zolim! Kenapa?”

Laila tak menjawab.

”Kamu takut? Kalau perlu aku bantu kamu mengadu kepada LBH. Orang macam Romeo itu, maaf, bajingan. Dia harus dihajar supaya menghormati perempuan!”

Laila diam saja.

”Itu namanya kamu sudah kena pelet! Kamu yang cantik begini pantasnya sudah lama menendang Romeo. Apa kamu tidak sadar?!”

”Ya, Pak.”

”Kalau sadar kenapa tidak bertindak?”

”Saya ingin berbakti pada suami, Pak!”

”Itu bukan berbakti, tapi menghamba! Diperbudak! Dijadikan kambing congek si Romeo asu itu, tahu!?”

”Ya, Pak!”

”Ya apa?”

”Kata orangtua saya, sebagai istri saya mesti menghormati suami, saya tidak boleh membantah kata suami. Hanya orang yang baik dan sabar yang akan bisa masuk surga.”

”Kalau orangtua kamu masih hidup, dia tidak akan rela kamu disiksa begini?! Kamu ini cantik Laila!”

Mendengar dua kali menyebut kata cantik, istri saya muncul. Saya diberi isyarat supaya minggir. Lalu dia bicara dari hati ke hati dengan Laila. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi kemudian saya lihat dari jauh, Laila menghapus air matanya.

”Kita tidak bisa kehilangan Laila,” kata istri saya kemudian.

”Lho, memangnya dia minta berhenti?”

”Dia tidak bisa merebut motor itu dari si Neli.”

”Tapi itu kan haknya!”

”Kita tidak bisa memaksakan jalan pikiran kita ke otaknya. Tidak. Pokoknya tidak bisa.”

”Harus! Kita berkewajibkan mengajarkan dia berpikir logis!”

”Kalau terlalu didesak, bisa-bisa dia minta berhenti.”

”O ya, Laila bilang begitu?”

”Dia tidak bilang begitu, tapi pasti akan begitu.”

”Kenapa dia begitu ketakutan?”

”Sebab Neli sudah dikawini Romeo!”

Saya terpesona. Lama saya mencoba menghayati bagaimana perempuan yang secantik Laila bisa dikuasai Romeo tak beradab itu. Saya tak akan pernah bisa mengerti.

Sementara terus-terang, kami sangat bergantung pada Laila. Kalau dia tidak ada, rumah akan berantakan.

”Kita tidak mungkin kehilangan Laila,” kata istri saya.

”Tapi dia tidak boleh dibiarkan masuk kerja terlambat terus.”

”Karena itu dia harus punya motor!”

Saya tak menjawab. Istri saya yang harus menjawab. Jawabannya agak tidak masuk akal. Laila dibelikan motor baru. Laila tersenyum sambil meneteskan air mata haru mendengar keputusan itu. Arjuna juga tertawa.

Motor kedua Laila langsung dari dealer. Bodinya mulus, suaranya halus dan tarikannya kuat. Laila dan Arjuna selalu datang tepat waktu. Saya dan istri puas, merasa keputusan kami tepat.

Tapi tak sampai satu bulan, tiba-tiba Laila muncul kembali dengan motor bututnya yang lama. Waktu kedatangannya memang tepat. Wajahnya juga tidak berubah. Ia tetap cantik dan ceria. Hanya Arjuna yang kelihatan rewel. Dan istri saya ngamuk.

Tidak pakai pendahuluan lagi, Laila langsung digebrak.

”Laila, Ibu sudah bosan bicara! Kalau kamu masih saja datang pakai motor busuk ini, tidak usah kembali! Pulang! Ibu beli motor baru untuk kamu dan Arjuna bukan untuk lelaki hidung belang itu! Kalau motor itu dipakai oleh orang lain, kamu berhenti saja kerja sekarang! Kembalikan motor kamu!”

Laila gemetar. Saya pun tersirap. Belum pernah istri saya marah seperti itu. Tanpa berani membantah lagi. Laila menaikkan lagi Arjuna yang sudah turun dari motor, lalu segera pergi. Saya lihat mukanya pucat pasi.

Saya kira perempuan itu tidak akan pernah kembali lagi. Tapi saya keliru. Besoknya, terdengar suara motor yang halus masuk ke halaman. Saya cepat keluar dan kaget melihat Laila dengan motor barunya. Arjuna tertawa senang. Laila mengangguk dan menyapa saya dengan sopan.

”Laila kembali, tapi mungkin untuk pamit pergi,” bisik saya.

Istri saya menjawab acuh tak acuh.

”Sudah waktunya dia menghargai dirinya sendiri!”

Hari berikutnya, seminggu, sebulan dan seterusnya, Laila tetap bekerja. Ia selalu datang tepat waktu. Lewat dengan anak dan motor baru, memasuki halaman rumah kami ia kelihatan tegar. Tidak pernah menangis lagi. Rupanya terapi kejut dari istri saya sudah membuatnya menjadi orang lain.

Tapi kalau diperhatikan ada sesuatu yang hilang. Laila tidak pernah lagi menggumamkan lagu Nike Ardila. Kadang-kadang dia termenung dan kelihatan hampa.

Ketika gajinya dinaikkan, Laila tersenyum, mencium tangan istri saya, tapi tidak lagi meneteskan air mata. Saya jadi penasaran.

”Laila, kenapa kamu kelihatan tidak terlalu gembira?”

”Saya gembira gaji saya dinaikkan Ibu, terima kasih, Pak.”

”Kamu naik motor mulus yang membuat iri orang-orang lain. Anak kamu senang dan sehat. Saya dengar saudara misan kamu sudah tidak di rumah kamu lagi. Suami kamu juga sudah tidak berani lagi memukul dan berbuat semena-mena. Betul?”

”Betuk, Pak.”

”Tapi kenapa kamu kelihatan susah?”

Laila menunduk.

”Kenapa kamu sedih?”

”Ya, Pak, karena sekarang saya tidak akan bisa masuk surga.”


Selasa, 10 November 2009

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2009

Sejarah Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Sebagai institusi nasional hak asasi manusia di Indonesia, Komnas Perempuan menjadi inisiator kegiatan ini di Indonesia. Aktivitas ini sendiri pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership.

Setiap tahunnya, kegiatan ini berlangsung dari tanggal 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga tanggal 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Dipilihnya rentang waktu tersebut adalah dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.

Keterlibatan Komnas Perempuan dalam kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) telah dimulai sejak tahun 2003. Dalam kampanye 16 HAKTP ini, Komnas Perempuan selain menjadi inisiator juga sebagai fasilitator pelaksanaan kampanye di wilayah-wilayah yang menjadi mitra Komnas Perempuan. Hal ini sejalan dengan prinsip kerja dan mandat Komnas Perempuan yakni untuk bermitra dengan pihak masyarakat serta berperan memfasilitasi upaya terkait pencegahan dan penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.

Mengapa 16 Hari ?

Penghapusan kekerasan terhadap perempuan membutuhkan kerja bersama dan sinergi dari berbagai komponen masyarakat untuk bergerak secara serentak, baik aktivis HAM perempuan, Pemerintah, maupun masyarakat secara umum. Dalam rentang 16 hari, para aktivis HAM perempuan mempunyai waktu yang cukup guna membangun strategi pengorganisiran agenda bersama yakni untuk:

  • menggalang gerakan solidaritas berdasarkan kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM,
  • mendorong kegiatan bersama untuk menjamin perlindungan yang lebih baik bagi para survivor (korban yang sudah mampu melampaui pengalaman kekerasan),
  • mengajak semua orang untuk turut terlibat aktif sesuai dengan kapasitasnya dalam upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Strategi yang diterapkan dalam kegiatan kampanye ini sangat beragam dari satu daerah ke daerah lain. Hal ini sangat dipengaruhi oleh temuan tim kampanye di masing-masing daerah atas kondisi ekonomi, sosial, dan budaya, serta situasi politik setempat. Apapun strategi kegiatan, yang pasti strategis ini diarahkan untuk:

  • meningkatkan pemahaman mengenai kekerasan berbasis jender sebagai isu Hak Asasi Manusia di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional
  • memperkuat kerja-kerja di tingkat lokal dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan
  • membangun kerjasama yang lebih solid untuk mengupayakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di tingkat lokal dan internasional
  • mengembangkan metode-metode yang efektif dalam upaya peningkatan pemahaman publik sebagai strategi perlawanan dalam gerakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan
  • menunjukkan solidaritas kelompok perempuan sedunia dalam melakukan upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan
  • membangun gerakan anti kekerasan terhadap perempuan untuk memperkuat tekanan terhadap pemerintah agar melaksanakan dan mengupayakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Apa yang terjadi dalam rentang waktu 25 November – 10 Desember?

  • 25 November : Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
    Tanggal ini dipilih sebagai penghormatan atas meninggalnya Mirabal bersaudara (Patria, Minerva & Maria Teresa) pada tanggal yang sama di tahun 1960 akibat pembunuhan keji yang dilakukan oleh kaki tangan pengusasa diktator Republik Dominika pada waktu itu, yaitu Rafael Trujillo. Mirabal bersaudara merupakan aktivis politik yang tak henti memperjuangkan demokrasi dan keadilan, serta menjadi simbol perlawanan terhadap kediktatoran peguasa Republik Dominika pada waktu itu. Berkali-kali mereka mendapat tekanan dan penganiayaan dari penguasa yang berakhir pada pembunuhan keji tersebut. Tanggal ini sekaligus juga menandai ada dan diakuinya kekerasan berbasis jender. Tanggal ini dideklarasikan pertama kalinya sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun 1981 dalam Kongres Perempuan Amerika Latin yang pertama.
  • 1 Desember : Hari AIDS Sedunia
    Hari AIDS Sedunia pertama kali dicanangkan dalam konferensi internasional tingkat menteri kesehatan seluruh dunia pada tahun 1988. Hari ini menandai dimulainya kampanye tahunan dalam upaya menggalang dukungan publik serta mengembangkan suatu program yang mencakup kegiatan pencegahan penyebaran HIV/AIDS, dan juga pendidikan dan penyadaran akan isu-isu seputar permasalahan AIDS.
  • 2 Desember : Hari Internasional untuk Penghapusan Perbudakan
    Hari ini merupakan hari diadopsinya Konvensi PBB mengenai Penindasan terhadap Orang-orang yang diperdagangkan dan eksploitasi terhadap orang lain (UN Convention for the Suppression of the traffic in persons and the Exploitation of other) dalam resolusi Majelis Umum PBB No 317(IV) pada tahun 1949. Konvensi ini merupakan salah satu tonggak perjalanan dalam upaya memberikan perlindungan bagi korban, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak, atas kejahatan perdagangan manusia.
  • 3 Desember : Hari Internasional bagi Penyandang Cacat
    Hari ini merupakan peringatan lahirnya Program Aksi Sedunia bagi Penyandang Cacat (the World Programme of Action concerning Disabled Persons). Program aksi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1982 untuk meningkatkan pemahaman publik akan isu mengenai penyandang cacat dan juga mambangkitkan kesadaran akan manfaat yang dapat diperoleh, baik oleh masyarakat maupun penyandang cacat, dengan mengintegrasikan keberadaan mereka dalam segala aspek kehidupan masyarakat.
  • 5 Desember : Hari Internasional bagi Sukarelawan
    Pada tahun 1985 PBB menetapkan tanggal 5 Desember sebagai Hari Internasional bagi Sukarelawan. Pada hari ini, PBB mengajak organisasi-organisasi dan negara-negara di dunia untuk menyelenggarakan aktivitas bersama sebagai wujud rasa terima kasih dan sekaligus penghargaan kepada orang-orang yang telah memberikan kontribusi amat berarti bagi masyarakat dengan cara mengabdikan hidupnya sebagai sukarelawan.
  • 6 Desember : Hari Tidak Ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan
    Pada hari ini di tahun 1989, terjadi pembunuhan massal di Universitas Montreal Kanada yang menewaskan 14 mahasiswi dan melukai 13 lainnya (13 diantaranya perempuan) dengan menggunakan senapan semi otomatis kaliber 223. Pelaku melakukan tindakan tersebut karena percaya bahwa kehadiran para mahasiswi itulah yang menyebabkan dirinya tidak diterima di universitas tersebut. Sebelum pada akhirnya bunuh diri, lelaki ini meninggalkan sepucuk surat yang berisikan kemarahan amat sangat pada para feminis dan juga daftar 19 perempuan terkemuka yang sangat dibencinya.
  • 10 Desember : Hari HAM Internasional
    Hari HAM Internasional bagi organisasi-organisasi di dunia merupakan perayaan akan ditetapkannya dokumen bersejarah, yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) oleh PBB di tahun 1948, dan sekaligus merupakan momen untuk menyebarluaskan prinsip-prinsip HAM yang secara detil terkandung di dalam deklarasi tersebut

Kamis, 05 November 2009

Jender di Masyarakat Jawa Kuno

Dalam perspektif sejarah, kesetaraan jender antara kaum perempuan dan kaum laki-laki sesungguhnya bukan hal baru. Perempuan Indonesia pada masa Mataram Kuno sampai masa Majapahit sudah memperoleh kedudukan dan peranan setara dengan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan.

Pada masa Jawa Kuno, begitu Titi Surti Nastiti dalam disertasinya, ”Kedudukan dan Peran Perempuan dalam Masyarakat Jawa Kuno Abad 8-15 Masehi” menyimpulkan, kaum perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan sama walaupun dari segi kuantitas tidak sebanyak kaum laki-laki. Menurut peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional itu, kesetaraan dicapai dalam meraih jabatan publik, kegiatan sosial, ekonomi, dunia kesenian, dan lainnya.

Di bidang pemerintahan, istri bisa mempunyai kekuasaan lebih tinggi daripada suaminya. Contohnya, Wikramawarddhana ketika mengeluarkan prasasti Patapan II (1385 M) dan prasasti Tirah atau Karang Bogem (1387 M) yang menggunakan lambang daerah Lasem, daerah kekuasaan Kusumawarddhani, istrinya. Pada saat itu, Wikramawarddhana belum menjadi raja. Penggunaan lambang tersebut mencerminkan kekuasaan Kusumawarddhani lebih besar daripada Wikramawarddhana.

Hal sama terjadi pada Bhre Wirabhumi yang mendapat gelar dari istrinya, Nagarawarddhani. Sebelum menjabat sebagai penguasa Lasem, Nagarawarddhani menjabat penguasa daerah Wirabhumi.

Nastiti melakukan kajian berdasarkan data tekstual dan artefaktual. Data tekstual berupa prasasti dari masa Mataram Kuno sampai masa Majapahit dalam bentuk teks sastra dan kumpulan teks, tertua seperti Ramayana dari masa Rakai Watukura Dyah Balitung sampai teks sastra/hukum dari masa Majapahit. Data artefaktual yang sezaman menggunakan arca, figurin, dan relief.

Kesetaraan kedudukan dan peranan sejak masa Mataram Kuno sampai masa Majapahit berakar pada budaya yang tidak membedakan hak waris di semua kalangan. Hanya ada aturan tertentu yang harus diikuti. Misalnya, untuk menduduki posisi putra/putri mahkota harus anak pertama dari permaisuri.

Contohnya, Sri Rajasawarddhani yang dalam prasasti Kancana/Bunur B menyebutkan, ia anak bungsu Hayam Wuruk. Dari kakawin Nagarakrtagama diketahui yang disebut sebagai Kusumawarddhani adalah putri mahkota. Putra pertama Hayam Wuruk seperti disebutkan teks Pararaton adalah Bhre Wirabhumi. Karena bukan putra dari permaisuri, ia tidak dapat menjadi putra mahkota.

Hak waris

Tidak adanya perbedaan hak waris tersebut memengaruhi konsep domestik dan publik sehingga laki-laki maupun perempuan dapat menjabat jabatan publik asalkan mengikuti ketentuan.

Dalam data prasasti, baik laki-laki maupun perempuan banyak menduduki jabatan pemerintahan sebagaimana dijumpai pada prasasti Juruhan (876 M) dan prasasti Waringin Pitu (1477 M).

Perempuan pada masa itu juga sudah melibatkan diri dalam kegiatan sosial sebagai pendamping suami maupun sebagai diri sendiri. Dalam prasasti Wulig (935 M), Rakai Mangibil, selir Mpu Sindok, meresmikan tiga bendungan. Sedangkan pada relief candi sering ditampilkan raja atau bangsawan ditemani perempuan.

Di bidang ekonomi, terutama kaum perempuan dari kalangan rakyat biasa, kiprah membantu perekonomian keluarga sudah berlangsung lama. Misalnya, menggarap sawah atau ladang dan berniaga sehingga menjadi saudagar (banigrami). Mereka tetap sebagai ibu rumah tangga. Di sela-sela kegiatannya, mereka juga membuat kerajinan untuk digunakan sendiri atau dijual.

Perempuan bukan sebagai alat hiburan semata, tetapi juga menjadi sumber penghasilan keluarga dan ada perempuan profesional dalam bidang seni pertunjukan.

Namun, walaupun kaum perempuan pada masa itu sudah menikmati kesetaraan hampir di semua aspek kehidupan, dalam hal tertentu, terutama di bidang keagamaan, perannya masih lebih rendah dari kaum laki-laki dalam bela dan sati tukon.

Perempuan tidak dapat menjabat sebagai pejabat tertinggi keagamaan atau menjadi kawi. Jika ditelusuri asal muasalnya, adat ini berasal dari kebudayaan India.

Nastiti mengakui, selama meneliti, ia sering kali mengalami kesulitan dalam membedakan jenis kelamin obyek yang diteliti. Apalagi untuk data artefaktual.

Menurut dia, jika pengamatan terhadap raut muka yang dilakukan tidak saksama, bisa menimbulkan kesalahan penafsiran jenis kelaminnya, mengingat raut muka orang tersebut berasal dari raut muka asing, seperti bangsa China dan India.

Untuk membedakan jenis kelamin, ibu dua anak buah perkawinannya dengan Djainuddin Djafar, PhD ini berpegang pada tiga hal. Pertama, jika namanya berakhiran vokal panjang. Kedua, berdasarkan kekerabatan seperti rai/ibu atau nini (nenek), dan, ketiga, berdasarkan kata anakwi dan wadwan. Kedua kata itu digunakan untuk menyebut nama pejabat perempuan atau istri seorang pejabat.

Her Suganda Anggota Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat

sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/05/03005787/jender.di.masyarakat.jawa.kuno