Rabu, 05 Januari 2011

WAJAH KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA

 Oleh : Ahmad Sarkawi
A.     Pengantar.
Dibandingkan keberadaan agama, bisa dikatakan usia Hak Asasi Manusia (HAM) masih tergolong “Muda”. Masalah HAM baru menjadi perbincangan public pada pasca-perang Dunia II. Tepatnya setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berdiri pada 1945 berhasil memaklumatkan Universal Declaration oh Human Rights (DUHAM) pada 10 Desember 1948

Namun bila dilihat lebih jauh, gagasan mengenai hak asasi telah muncul jauh sebelumnya. Pada masa pencerahan (enlightenment) telah muncul istilah human right sebagai ganti dari istilah natural rights dan istilah rights of man yang telah muncul pada sebelumnya. Pemikiran HAM juga telah muncul pada Abad XIII sebagaimana termuat dalam dokumen Magna Charta (1215) dan juga Petition of Rights (1628) dan Bill of Rights (1689). Ujung pemikiran HAM adalah doktrin hukum alam bahwa pada setiap manusia melekat serangkaian hak ilmiah yang kekal dan tidak dapat dicabut, ditinggalkan, dan berkurang karena tuntutan hak “illahi” raja[1]. Hal ini merupakan anti-tesis terhadap doktrin hukum alam yang sebelumnya mengajarkan sisi kewajiban dan menafikan ide sentral tentang persamaan dan kemerdekaan[2].
Dalam kalangan Islam juga dikenal sejumlah tokoh intelektual yang mengembangkan pemikiran mengenai konsep HAM, antara lain Farid Muhammad, Mahmoed Mohamed Thaha, dan Abdullah Ahmed An-Naim. Dengan demikian, agama Islam sesungguhnya memiliki potensi konseptual yang bisa dikembangkan untuk melengkapi konsep-konsep mengenai HAM. Misalnya konsep Piagam Madinah[3].
Kebebasan beragama merupakan salah satu isu hak asasi manusia yang paling paradoks. Kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan salah satu rumpun hak asasi yang paling fundamental, yang tidak dapat dikurangi, dibatasi, atau dilanggar dalam kondisi apapun (non derogable rights), seperti yang tertera pada pasal 4 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik dan UUD 1945[4]. Namun pada kenyataannya pembatasan hak asasi dasar ini khususnya pada kelompok agama minoritas di suatu tempat masih terus berlangsung, baik lewat pengekangan legal formal, maupun lewat praktek-praktek kekerasan yang dilakukan oleh aparat Negara maupun masyarakat umum. Pelanggaran kebebasan beragama juga dilakukan baik berdimensi antar/ inter-agama/ kepercayaan/ keyakinan maupun intra-agama/ kepercayaan. Pada masa perang Dunia II praktek pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan berujung pada parktek genosida.
Dalam paper sederhana ini akan meninjau lebih jauh relasi kebebasan beragama dan hak asasi manusia yang terdeklarasi dalam DUHAM (1948) kemudian diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dan apa peran pemerintah sebagai pemangku kebijakan, serta upaya untuk memberikan perlindungan terhadap warga Negara sebagaimana di amanatkan dalam undang-undang.

B.     Realitas Keber-Agamaan  di Indonesia
Menurunnya toleransi atas keberagaman dalam masyarakat, antara lain disebabkan: pertama, tidak tegasnya penegakan hukum di era pemerintahan saat ini, terbukti dari hasil survei bahwa responden yang puas atas penegakan hukum di Pemerintahan SBY-Boediono di bawah 50 persen. Kedua, penurunan toleransi dalam survei tersebut juga disebabkan menurunnya pembelaan kaum moderat dalam keberagaman, serta persoalan paham agama seperti Ahmadiyah memang "problematik" yang sebagian ormas Islam yang selama ini dikenal moderat juga ikut merekomendasikan pembubaran Ahmadiyah.[5] Warga tak bisa memaksa pemerintah membubarkan sebuah paham agama, sejauh paham itu tidak mengajarkan tindak pidana. Tentu semua penganut agama berhak menyatakan apa yang benar menurut pemahamannya, namun tidak pernah dibenarkan dilakukannya kekerasan untuk memaksa paham agamanya.[6]
Berikut hasil survey LSI bagaiamana penilaian masyarakat umum terhadap ajaran Ahmadiyah :
dari survey diatas dapat menjelaskan kepada kita semua 57,8% masyarakat menilai ajaran ahmadiyah adalah ajaran sesat, dan 34,0% masyarakat tidak memberikan penilaian sedangkan hanya 8.2% masyarakat umum menilai ajaran Ahmadiyah bukan ajaran sesat. Dari analisis data diatas mampu memberikan gambaran pemahaman keber-agamaan dan keberagaman masyarakat kita dalam konteks hari ini. Konflik-konflik kekerasan yang mulai mengancam kerukunan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak hanya dilatarbelakangi, baik oleh perbedaan kepercayaan maupun etnis. Lebih dari itu, ada kecenderungan masyarakat sudah menganggap konflik dengan tindak kekerasan sebagai hal yang wajar.[7]
Latar belakang pelanggaran HAM sangat kompleks. Sebagian pelanggaran HAM terjadi karena rendahnya pemahaman dan kesadaran HAM, lemahnya supremasi hukum, budaya atau tradisi masyarakat, politik, agama dan ekonomi. Tindak kekerasan terhadap sarana keagamaan dan jemaat Ahmadiyah dilakukan karena motivasi relijius. Kekerasaan terhadap jemaat Ahmadiyah adalah bentuk amar ma’ruf nahi munkar yang harus dilaksanakan karena Ahmadiyah menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat merupakan aliran sesat. Karena pemahaman doktrin agama yang dangkal dan tidak kontekstual, amar ma’ruf nahi munkar mendorong mereka bertindak brutal, main hakim sendiri. Fatwa yang menyatakan Ahmadiyah adalah sesat merupakan salah satu penyebab mengapa hingga kini persoalan kebebasan beribadah di negeri ini tidak juga usai. Kemudian hal serupa diungkapkan Dawam Raharjo “Persoalan kebebasan beribadah masyarakat itu,  karena ada fatwa MUI yang provokatif yang bilang Ahmadiyah sesat. Ini yang memprovokasi warga sehingga ada tindakan penyerangan pada warga Ahmadiyah,"[8] maka ketika mengeluarkan fatwa juga harus hati-hati, bagaimana fatwa ini, apa fatwa ini, siapa yang mendengar dan konsumennya harus diatur dengan sebaik mungkin.[9] Dalam konteks Indonesia sebagai Negara Hukum, main hakim sendiri baik atas nama agama maupun hukum itu sendiri merupakan perbuatan kriminal  yang melanggar hukum.[10]

C.    Agama dan Hak Asasi Manusia
Posisi agama memang seringkali sangat dilematis. Kalangan sosiolog seperti Durkheim, Weber, Parson dan kawan-kawan, menaruh keyakinan bahwa agama bisa berperan dalam perubahan dan perbaikan masyarakat. Tetapi sebaliknya, orang seperti Karl Marx justru skeptis dan menaruh curiga terhadap agama, bahkan berkeyakinan bahwa agamalah yang bertanggung jawab atas kemiskinan yang menimpa masyarakat, sebab mereka lebih terbuai oleh impian-impian indah tentang surga, ketimbang berusaha memperjuangkan upah kerja yang memadai, misalnya. Marx lebih kesal lagi ketika melihat agama dan para tokohnya telah berkolusi dengan penguasa yang tiran untuk menindas dan membodohi rakyat.
Karena itu sebenarnya yang menjadi sasaran pokok dari kritik Marx bukanlah hakikat Tuhan serta ajaran metafisika agama, melainkan praktek keberagamaan yang bersifat eskapis, yaitu menjadikan agama sebagai tempat pelarian dari pergulatan sosial yang memerlukan penyelasaian konkrit. Kebergamaan semacam itu bagi Marx tak ubahnya sebagai opium (mengurangi rasa sakit) yang berfungsi menghilangkan derita sementara karena akar penyakitnya tidak tersentuh sama sekali. Agama yang pada mulanya hadir sebagai pembawa ruh peradaban serta tiang penyangga bagi tegakknya etika social, sekarang cenderung menjadi lembaga himpunan dogma-dogma teologis dan lembaga layanan ritual untuk menampung serta menghibur mereka yang tengah berduka dan frustasi akibat terpuruk dari panggung politik dan ekonomi serta kegagalan dalam menggapai kebahagiaan hidup.[11] Tetapi jelas kita tidak sedang mengikuti Marx yang mengkritik agama; yang kita kritik bukanlah agama tetapi cara beragama. Yaitu, cara beragama yang cenderung tidak toleran terhadap perbedaan, dan yang secara mutlak mengklaim pendapat diri sendiri yang paling benar sementara pendapat orang lain salah. Yang kemudian berkembang ialah atmosfer kecurigaan dan suasana saling memata-matai menjadi kian mewabah di tengah masyarakat.
Dalam diskursus keagamaan kontemporer, dijelaskan bahwa “agama” ternyata banyak wajah (multiface) bukan lagi single face.[12] Maka dengan itu pentinglah kiranya menumbuhkan kesadaran kritis dalam beragama sehingga agama dapat dilihat dalam wajah yang banyak dan berbeda namun mampu memberikan wajah agama yang menyejukkan, agama yang menentramkan umat, bukan menanamkan doktrin-doktrin api kemarahan yang bisa membuat kesalahan dalam pemahaman kehidupan bernegara yang plural.

1.      Hubungan Agama dan HAM
an Naim menejelaskan tentang hubungan antara agama, termasuk Islam dengan HAM sebagai fondasi kemanusiaan. Pertama, Universalitas HAM menghajatkan kajian mendalam dan terus menerus dengan budaya local yang sangat mempengaruhi oleh keyakinan agama. Kedua, tidak selalu dapat diasumsikan adanya kompatibilitas langsung atau kontradiksi yang permanen antara HAM dan suatu tradisi agama. Yang perlu dilakukan adalah berusaha mencari jalan media ketegangan yang paradok dan melakukan rekonsiliasi diantara keduanya. Ketiga, mediasi ketegangan antara agama dan HAM membutuhkan kombinasi komitmen yang kuat dan seimbang dalam menyikapi keduanya dan melakukan kajian kritis terhadap prinsip dan doktrin didalamnya untuk dapat sampai pada kesepakatan dalam implementasinya. Pandangan yang eksklusif dan saling menafikan merupakan penghalang terbesar tercapai suatu kemanusiaan berbasis HAM yang agamis. Dengan kata lain, dibutuhkan suatu sikap yang fleksibel dan inklusif, baik dari sisi prinsip-prinsip HAM dan doktrin-doktrin agama untuk sampai pada harmonisasi keduanya.[13]
Penegakan hak asasi manusia lebih mungkin berlangsung efektif jika melibatkan keyakinan keagamaan sebagaimana dianut penduduk Indonesia dengan merumuskan nilai-nilai ilahiah (dalam kaitan dengan iman) dan ubudiah (dalam kaitannya dengan pahala) dalam penegakan hak asasi manusia. Jika membuang duri di jalan saja diyakini sebagai ibadah, maka penegakan hak asasi manusia dengan segala rangkaiannya bisa pula dikatakan sebagai praktik kesalehan.[14]

2.      Pemerintah kemana?
Peran pemerintah merespon persoalaan kebangsaan dalam kurun waktu belakangan ini, khususnya kebebasan beragama bagi penduduk minoritas baik secara kualitas maupun kuantitas kecenderungan pemerintah melakukan pembiaran dan menarik ulur permasalahan laksana seorang anak memainkan layangannya, sehingga tidak ada penyelsaian serius dan konkret yang di lakukan pemeritah sebagai pemangku kebijakan. Kemudian pemerintah diamanatkan oleh undang – undang sebagai pelindung dan memberikan kenyamaan dan keamaan terhadap warganya. tapi kenyataan hari ini, jauh panggang dari apinya. Hal senada di ungkapkan oleh Ardian Sopa peneliti dari LSI; “pemerintah terikat oleh konstitusi Undang-undang Dasar 1945 untuk melindungi keberagaman dan kepercayaan warga Negara”.[15]
Sebagai Negara yang telah berkomitmen  terhadap International Covenant on Civil and Political Rights kemudian diratifikasi dengan Undang – Undang No. 12 tahun 2005, maka tidak ada alasan apapun pemerintah untuk tidak melindungi warga negaranya dalam rangka kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana kita ketahui bersama dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik pada  Pasal 18 ayat 1 – 3 dan Pasal 20 ayat 2.[16]

D.    Penutup
Di Indonesia peradaban HAM sulit tumbuh karena kurangnya dukungan dari agama-agama untuk isu-isu HAM. Agama-agama di Indonesia kerap sibuk dengan ritualisme dan narsisisme atas kelompoknya. Mereka sangat sensitif dan artikulatif terhadap masalah kesusilaan, tapi anehnya menjadi bisu dan kelu terhadap isu-isu korupsi dan pelanggaran HAM. Tentu ada aktivis dari kelompok agama, tetapi itu hanya sebatas identitas personal. Dalam agama itu sendiri tidak terjadi hermeneutik transformasional yang pro-HAM sehingga seorang Muslim yang pro-HAM, misalnya, dianggap ”sekularis” atau ”anti-Islam” oleh komunitasnya. Keadaan makin parah apabila semua ini disertai provokasi vulgar dari kelompok-kelompok ekstremis agama yang dibayar untuk mengacau republik ini. Kerangka pikir seperti ini sangat menghambat sosialisasi HAM. Jadi, selama agama-agama—khususnya para pemimpin mereka—tidak memasukkan penegakan HAM sebagai bagian kewajiban religius mereka, selama itu pula pertumbuhan peradaban HAM akan tetap terhambat seperti yang kita alami sampai sekarang.[17] Paper sederhana ini mengajak kita bersama untuk merefleksi keber-agamaan dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan, untuk menumbuhkan kesadaran kritis terhadap ummat yang tengah mengalami kegalauan dan terombang-ambing di tengah lautan, tentunya dibutuhkan kerja keras kita bersama. Membangun sinergisitas mencerahkan ummat melalui pendidikan kritis dalam memaknai agama, sehingga agama tidak hadir dalam single face. Tapi agama mampu hadir dalam Multiface menjadi jembatan sosial untuk seluruh Ummat.

Daftar Pustaka

I.          Buku

Riza Fajar, ed. Islam, HAM, dan Keindonesiaan: Refleksi dan Agenda Aksi untuk Pendidikan Agama, Maarif Institute dan NZAID, Jakarta: 2007

Madjid Nurcholis, et, al. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respond an Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani, PT Mediacita, Jakarta: 2002

Freeman Michael, Human Right An Interdisciplinary Approach, Polity Press, Malden: 2002

Purna Ibnu, ed. Landasan Hukum dan Rencana Aksi Nasional HAM di Indonesia 2004 – 2009, Sekneg RI Dep. Hukum dan HAM, Jakarta: 2008

Tim KontraS, Panduan untuk Pekerja HAM: Pemantauan dan Investigasi Hak Asasi Manusia, KontraS dan Indonesia Australia Legal Development Facility, Jakarta: 2009

Tim Core, Direktori Penelitian Agama, Konflik dan Perdamaian, Komnas HAM dan Insititute Pluralisme Indonesia, Jakarta: 2005

Tim Penyusun, Buku Panduan Peserta Pelatihan Hak Asasi Manusia Tahunan, ELSAM dan equitas, Jakarta: 2010

II.       Jurnal, Majalah

Maarif Vol. 4, No. 1 – Juli 2009

Ulumul Qur’an No. 5  VII/ 1997

Suara Muhammadiyah 22/95, 16 – 30 November 2010

Bhineka. Edisi 01 2009

TANWIR, Edisi ke-3, Vol. 1, No. 03, 2003




III.    Website







[1] Yosep Adi Prasetyo, “HAM Dalam Konteks dan Kepentingan Sosiologis Ke-Indonesiaan” dalam Fajar Riza Ul Haq (ed.) Islam, HAM, dan Ke-Indonesiaan, NZAID dan MAARIF Institute, Jakarta, 2007, hal. 51
[2] Ibid
[3] Ibid, hal. 52
[4] Instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia dalam sumber rujukan pelatihan Hak Asasi Manusia tahunan 2010, ELSAM dan Equitas, Jakarta, 2010. hal. 50-51 dan hal. 83-93
[5] Deni JA, Survey LSI: Toleransi Keberagaman menurun, pubdate: 12/10/10/ 18:27
[6] ibid
[7] Mudjib Khudori, Masyarakat Indonesia Suka Kekerasan, pubdate: 05/10/10 16:45
[8] Dawam Raharjo,  Dawam: ini karena Fatwa yang  Provokatif, pubdate ; 05/10/10/ 21:52
[9] Amin Abdullah, Sebuah Dokumen Sejarah yang Luar Biasa, dalam Jurnal MAARIF Vol. 4, No 1-Juli 2009. Hal. 29.
[10] Abdul Mu’ti, Pendidikan Agama Berbasis HAM, dalam dalam Fajar Riza Ul Haq (ed.) Islam, HAM, dan Ke-Indonesiaan, NZAID dan MAARIF Institute, Jakarta, 2007, hal. 139-140

[11] Komarudin Hidayat, Kejernihan Di Tengah Pertikaian, dalam Nurcholis Madjid, et, al. Kehampaan spiritual Masyarakat Modern. Hal. 15-16
[12] Amin Abdullah, Relevansi Studi Agama-Agama dalam Milennium ketiga, dalam ulumul Qur’an No. 5 VII/1997. Hal. 57
[13] Abdullahi an-Naim, “Human Rights and Scholarship for Social Change in Islamic Communities” dalam Islam and Human Rights: Advocacy for Social Change in Local Context, New Delhi: Global Media Publication, 2006. Hal. 2-3.
[14] Abdul Munir Mulkhan, Bunga Rampai: Ide Sosio-Ritual Kiai Ahmad Dahlan dalam Perspektif HAM, dalam Fajar Riza Ulhaq, ed. Islam, HAM, dan Ke-Indonesiaan, NZAID dan MAARIF Institute, Jakarta, 2007, hal. 88

[15] Ardian Sopa, LSI: Presiden perlu pidato masalah keberagaman agama, pubdate: 12/10/10 19:01
[16] Instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia dalam sumber rujukan pelatihan Hak Asasi Manusia tahunan 2010, ELSAM dan Equitas, Jakarta, 2010. hal. 87

[17] Budi Hardiman, HAM Kita, pubdate: 09/12/10 05:33

Tidak ada komentar: