Jumat, 26 November 2010

Sambutan Ketua Komnas Perempuan Untuk Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

Yuniyanti Chuzaifah
Ketua Komnas Perempuan

Atas nama Komnas Perempuan, kami merasa berhargai menjadi bagian penting dalam acara hari  ini.  Sebagai National Human’s Right institution dengan mandat untuk membangun kondisi yang kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan, maka momen hari ini punya beberapa arti strategis bagi Komnas Perempuan dan kita semua :

Data kekerasan terhadap perempuan yang didokumentasi Komnas Perempuan tahun 2009,  meningkat hingga 243  persen (143 ribu), semakin membuka mata akan beberapa hal, bahwa perempuan memilih memecah kebisuan, memilih keadilan dibanding harmoni dalam ketidak adilan. Selain itu, data ini adalah rekaman  keberanian perempuan, juga  data institusi penanganan yang merasa perlu dibagi ke publik bukan dibiarkan bertapa dalam arsip atau komputer. Mendata bukan sekedar menderetkan angka, tetapi mengakui fakta dan menjadi acuan langkah strategis. Selain itu, dampak Undan-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) juga diyakini korban menjadi payung hukum, disamping menggeliatnya mekanisme dan akses keadilan bagi perempuan.

Keberanian korban meningkat yang kita bisa rasakan cukup membanggakan; pelecehan seksual di jalan dilaporkan, sakralitas tokoh spiritual pelaku kekerasan digugat,  tokoh publik yang berkuasa tak ditakuti, dosen penentu masa depan sebagai pelaku tidak dibiarkan luput, orang terdekat yang mengancam juga dipilih ditinggalkan untuk mencari keadilan.

Di atas semua hal tersebut,  bekerja untuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia  punya bentuk dan tantangan yang perlu strategi dan pengetahuan komprehensif untuk penanganannya. Pelaku kekerasan semakin rumit,  dari non state actor yang mulai massif, kelompok yang melakukan politisasi agama, menguatnya politik identitas, diskriminasi berbasis moralisme, kekerasan karena iman kepercayaan seseorang, penghilangan hak karena pilihan orientasi seksualnya. Belum lagi kekerasan masa lalu dimana korban masih menanti keadilan, korban di wilayah konflik yang berharap agar konflik mereda, sehingga damai perempuan akan digapai. Namun,  yang terjadi perempuan menuai bentuk kekerasan lain, termasuk  KDRT yang tidak berhenti dengan meredanya konflik. Seperti terlihat dari hasil dokumentasi Komnas Perempuan bersama kelompok pendokumentasian pelanggaran HAM Perempuan di Papua, yang menemukan bahwa KDRT meningkat.

Hasil pantauan Komnas Perempuan juga menunjukkan terdapat 154 Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif. Pada tahun 2010 didapati 35 perda yang pelaksanaannya potensial atau berujung kekerasan terhadap perempuan. Ibu Lilis, korban salah tangkap karena implementasi Perda prostitusi di Tangerang, harus kehilangan nyawa karena depresi dan keguguran paska penangkapan. Komnas Perempuan membuat film “Atas Nama” untuk menyejarahkan suara korban yang tak terdengar dan tak didengar, termasuk perempuan Ahmadiyah, perempuan Aceh yang tak kunjung punya kedaulatan atas diri mereka.

Sederet persoalan perempuan di atas juga ditambah dengan isu buruh migran yang tak kunjung selesai. Strategi advokasi dengan dokumentasi kasus yang mengangkat ribuan angka kematian, kasus-kasus sadistik, nasib-nasib dramatik, belum membuahkan sistem perlindungan yang signifikan untuk melindungi buruh migran. Sistem perlindungan tentang pekerja migran masih  rapuh. Keberadaan UU 39 yang sudah dibuat tahun 2004, bisa kita cermati, berapa pelanggar yang dihukum dengan jeratan undang-undang ini? Deretan peraturan menteri masih lemah kontrol pelaksanaanya, munculnya institusi penyelenggara yang menjadi bahan debat karena kerja-kerja yang belum  menampakkan perbaikan yang signifikan. Artinya hampir  40 tahun mengirim buruh migran, dan 20 tahun konvensi perlindungan buruh migran dan keluarganya dibuat, bahkan sudah enam tahun ditandatangani sejak 2004. Tetapi buruh migran luput tertangani, anak bangsa yang terabai di rongga-rongga batas-batas negara, yang nasibnya ditentukan oleh kertas-kertas legal-illegal, juga masih terstigma dalam label tidak berskill, tidak mahir berbahasa, dan tidak berdaya. Padahal kesaksian kita semua, buruh migran di Hongkong ketika ada ketegasan perlindungan dan dibuka ruang mobilitas bagi buruh, mereka membuat organisasi yang berdaya, aktif memintarkan diri, dan negara penerima menjadi punya martabat.

Pada akhirnya, pembelajaran sejarah 25 November sebagai hari anti kekerasan ini, bahwa kasus kekerasan tiga aktifis perempuan Mirabal sister di Dominika Amerika Latin tahun 1960 tidak sia-sia. Kematian mereka menentang regima otoriter Trujillo, digaungkan oleh gerakan perempuan yang diawali tahun 80 oleh perempuan Encuentro Latin Amerika dan Karibia di Bogota. Gerakan menggelinding, yang kemudian wakil delegasi Dominika menggaungkan ke dunia, melalui General Assembly PBB pada th 1999, dan oleh 79 negara disepakati menjadi hari Penghapusan kekerasan terhadap Perempuan.

Pelajaran berharga, korban-korban kekerasan menjadi tidak tersia-sia. Apa yang terjadi pada  kasus kerusuhan Mei 98, karena suara perempuan, lahir komnas Perempuan sebagai institusi HAM perempuan yang harus ada sebagai pilar negara yang berkemanusiaan. Suara korban di wilayah konflik melahirkan resolusi 1325. Ini  penting untuk dikawal menjadi komitmen dan kerja nasional untuk menghentikan kekerasan, mengembalikan hak korban dan membangun security sector reform yang berhati perempuan. Rekomendasi lembaga HAM dan congcluding comment dari pelapor-pelapor PBB, baik CEDAW, CAT (Anti Penyiksaan) dan CERD (Anti Ddiskriminasi Rasial) dan lain-lain, jangan dibiarkan menjadi jajaran kalimat rapi, semuanya harus ditindaklanjuti dan menjadi aksi yang berarti.

Komnas Perempuan, bersama 37  mitra di daerah mengangkat isu kekerasan seksual. Isu ini penting karena dokumentasi Komnas Perempuan sejak 1998-2010 menunjukkan terdapat 91.311 kasus kekerasan seksual, dan 76 persen pelakunya terjadi di ranah personal, dengan pelaku orang terdekat (ayah, kakak, adik, paman, kakek, yang artinya mematahkan argumen bahwa rumah adalah tempat aman. Sekali lagi Komnas perempuan, jaringan-jaringan perempuan di Indonesia bergandeng dengan komunitas internasional, termasuk apa yang terjadi di ruangan ini, adalah bentuk kemenyatuan komitmen untuk membangun peradaban anti kekerasan, dimulai dari “saya”, agar menjadi kami dan kita.
Sekian

Tidak ada komentar: