Rabu, 05 Januari 2011

Keadilan dan Kesetaraan Gender jalan Surga untuk kita semua


Oleh : Ahmad Sarkawi
Pendahuluan
Kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dinilai tidak lagi hanya menyentuh ranah ekonomi, politik, hukum, atau psikologis, tapi juga sudah menyentuh ranah ideologi, agama, dan kepercayaan. Sebut saja serangan diskriminatif yang kerap dialami oleh Ahmadiyah dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) belakangan ini. Maraknya peristiwa kekerasan berbasis intoleransi ini telah menjadikan perempuan dan anak turut sebagai pihak yang dirugikan.[1]
 Seorang perempuan yang pada saat penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah, sedang hamil Sembilan bulan memberikan kesaksian bahwa  ketika massa merusak rumah dan menjarah barang dagangannya, ia mendengar massa penyerang menyatakan “urang kitu heula” (maksudnya kita perkosa dulu) yang ditimpali penyerang lain “Da keur keureuneh” (dia lagi hamil) namun penyerang lain menyatakan “Keun bae keur keurreuneh oge dan henceut na mah teu bareuh” (tidak apa-apa hamil juga, vaginanya tidak bengkak. Maksudnya membesar seperti perut perempuan hamil). Setelah kejadian itu pada hari ketiganya  perempuan itu melahirkan namun liang vaginanya tidak membuka dengan baik karena akibat dari pemerkosaan yang dilakukan penyerang.[2] Agama, tingkat pendidikan, status sosial, budaya dan bahasa di setiap tempat pasti berbeda; tapi keadaan dan dampak konflik bagi perempuan ditiap abad dan disemua tempat adalah sama.[3]
Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di wilayah domestik seperti kekerasan dalam rumah tangga, tetapi kekerasan terhadap perempuan terjadi di wilayah publik. Jumlah kekerasan terhadap perempuan yang tercatat ditangani lembaga pengada layanan meningkat setiap tahun (tahun 2001-2008). Tahun 2009 peningkatan jumlah kekerasan terhadap perempuan mencapai 143.586 kasus atau naik 263% dari jumlah kekerasan terhadap perempuan tahun lalu (54.425).[4] Pola kekerasan yang cukup menonjol pada tahun 2009 adalah kekerasan psikis dan seksual terjadi ditiga ranah yaitu keluarga atau relasi personal, komunitas dan Negara. Korban kekerasan dalam rumah tanggal (KDRT) yang cukup menonjol adalah kekerasan terhadap istri (96%). Dan usia korban cenderung lebih muda (dari kelompok usia 13-18 tahun). Sedang karateristik usia pelaku antara usia produktif yaitu usia 25 – 40 Tahun.[5]
Wajah kekerasan terhadap perempuan di Indonesia seperti benang kusut yang susah diuraikan, kekerasan terjadi dimanapun tak ada lagi ruang yang nyaman dan tenang untuk perempuan berdialektika dan merasakan indahnya dunia seperti lirik lagunya Iwan Fals “aku ingin nyanyikan lagu, tanpa kemiskinan dan kemunafikan, tanpa air mata dan kesengsaraan. Agar perempuan dapat melihat surga”,[6] ketidakadilan dan ketidaksetaraan terhadap perempuan menjelajah disetiap dimensi kehidupan manusia, maka dengan itu paper sederhana ini akan mencoba untuk berbagi kepada kita semua untuk menguak tabir ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dan upaya untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender sebagai jalan Surga untuk kita semua.
Menguak Tabir Ketidak-adilan dan Ketidak-setaraan Gender.
I.                   Seks dan Gender
Baik konsep seks dan gender pada prinsipnya adalah sebuah konsep yang membedakan jenis kelamin yang dimiliki manusia. Secara umum seks membedakan jenis kelamin manusia karena perbedaan alat-alat biologis yang dimilikinya. Sementara gender membedakan jenis kelamin manusia berdasarkan pembedaan peran-peran sosial yang bersumber pada alat-alat biologis yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan.
1.      Seks
Seks pada umumnya tidak bisa berubah, kecuali di operasi, bersifat umum atau universal, artinya berlaku dimana-mana. Seks atau jenis kelamin biologis yang membedakan laki-laki dan perempuan adalah[7] :

Laki-laki secara biologis memiliki:

1.      Penis
2.      Testis (buah zakar)
3.      Sperma
4.      Kelenjar Prostate
5.      Hormon testosterone
Dua organ yang disebut pertama biasanya disebut jenis kelamin primer pada laki-laki. Dan tiga organ berikutnya adalah jenis kelamin sekunder.
Perempuan secara biologis memiliki:

1.      Rahim
2.      Vagina
3.      Kelenjar susu
4.      Sel telur (ovum)
5.      Haid
6.      Hormon estrogen
Empat organ yang disebut pertama biasanya disebut jenis kelamin primer pada perempuan, sedangkan dua organ berikutnya adalah jenis kelamin sekunder.
2.      Gender
Kata gender berasal dari bahasa latin, yaitu “genus”, berarti tipe atau jenis. Gender adalah pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal fisik, sifat, peran, posisi, tanggung jawab, akses, fungsi, kontrol, yang dibentuk atau dikonstruksi secara sosial yang dipengaruhi oleh berbagai factor yaitu: budaya, agama, sosial, politik, hukum, pendidikan, media, seni dan lain sebagainya.[8] Karena gender merupakan hasil konstruksi sosial, maka gender bisa berubah sesuai dengan konteks waktu, tempat dan budaya. Tetapi sampai saat ini masyarakat menganggap gender sebagai sesuatu yang alamiah, sudah seharusnya demikian, dan merupakan ketentuan Tuhan, sehingga tidak perlu lagi dipertanyakan atau digugat.[9] Keyakinan semacam ini telah mendarah daging dalam masyarakat karena adanya proses sosialisasi yang sangat panjang lewat berbagai macam pranata sosial diantaranya institusi keluarga, agama, adat, dan sosial kemasyarakatan. Berdasarkan konsep gender ini, umumnya perempuan dan laki-laki telah dibedakan identitas, strata, dan perannya dalam masyarakat seperti di bawah ini[10]:




Perempuan
Laki-laki
Sifat
·         Lembut
·         Pemalu
·         Sabar
·         Emosional
·         Pendiam
·         Keibuan
·         Gagah
·         Pemberani
·         Kasar
·         Bijaksana
·         Bertanggung jawab
·         Pintar
·         Agresif
Peran atau fungsi
·         Mengurus rumah tangga
·         Pencari nafkah tambahan
·         Melahirkan
·         Menyusui
·         Hamil
·         Pencari nafkah utama
·         Pelindung
·         Menjadi panutan
Posisi
·         Ibu rumah tangga
·         Yang dipimpin
·         Kepala keluarga
·         pemimpin
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, perbedaan seks dan adalah:[11]
Seks
Gender
Seks adalah alami
Gender bersifat sosial budaya dan merupakan buatan manusia
Seks bersifat bilogis, ini mengacu pada perbedaan yang kelihatan dalam alat kelamin dan perbedaan dalam hubungan dengan fungsi prokreasi
Gender bersifat sosial budaya dan ini mengacu pada kualitas feminin dan maskulin, pola perilaku, peran, tanggung jawab dan lain-lain.
Seks bersifat tetap, ini sama di setiap tempat.
Gender merupakan variable, dapat berubah dari waktu ke waktu, dari satu budaya ke budaya yang lain, dari satu keluarga ke keluarga yang lain.
3.      Dampak konsep gender
Pembagian yang ketat antara peran, posisi, tugas, dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki telah menyebabkan ketidakadilan terhadap perempuan dan laki-laki. Misalnya laki-laki yang diposisikan sebagai kepala keluarga oleh masyarakat, disatu sisi karena posisinya ini ia misalnya bisa mendapatkan akses atas pendidikan yang lebih baik dibandingkan dengan perempuan, tetapi disisi lain jika ia tidak bekerja atau menganggur ia akan dilecehkan oleh masyarakat. Inilah salah satu dampak konsep gender terhadap laki-laki. Sedangkan untuk perempuan, karena ia diposisikan sebagai ibu rumah tangga maka ia dibebankan tanggung jawab untuk mengurus rumah tangga dan mengasuh anak yang membutuhkan energi dan waktu yang banyak. Dampak ketidakadilan gender ini dalam masyarakat yang sangat patriakhis lebih dirasakan oleh kaum perempuan dibandingkan dengan laki-laki[12]. Seperti yang terjadi pada perempuan Ahmadiyah yang mengalami perkosaan oleh penyerang jemaat Ahmadiyah, perempuan[13] Ahmadiyah di perkosa karena dianggap perempuan yang lemah, dan kerena keperempuannya pula ia di perkosa atau diperlakukan tidak senonoh.
II.                Faktor penyebab dan pelestari Ketidakadilan gender
Factor-faktor yang melanggengkan ketidakadilan gender dalam masyarakat antara lain adalah :
1.      Akar masalah penindasan terhadap perempuan.
Menurut analisis feminis, akar masalah ketertindasan perempuan adalah budaya patriakhi. Budaya patriakhi adalah budaya yang menomorsatukan laki-laki di segala bidang yang mengakibatkan perempuan tersubordinasi dan mengalami penindasan. Budaya patriakhi bekerja dan terimplementasi melalui berbagai cara dalam kehidupan sehari-hari baik pada tingkat pribadi, keluarga, masyarakat maupun Negara. Budaya ini telah mempengaruhi dengan sangat kuat relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan telah mengakibatkan terjadinya diskriminasi, ketidakadilan, dan sebagainya terhadap sebagian besar perempuan.
Beberapa bukti yang dapat dilihat sebagai bukti kuatnya pengaruh budaya patriakhi dalam kehidupan sehari-hari adalah :
a.       Penafsiran Agama
Kalangan feminis hampir seluruhnya sepakat bahwa agama khususnya, Islam, Yahudi dan Kristen adalah wilayah yang seksis. Artinya, agama-agama tersebut adalah agama dengan citra Tuhan yang laki-laki, yang pada ujung-ujungnya mensahkan superioritas laki-laki atas perempuan. Posisi agama yang merupakan unsur kesadaran sosial dan determinan atas pelbagai tradisi yang ada di masyarakat, membuat pandangan tentang superioritas laki-laki itu memperoleh justifikasi dari agama.[14]
Apa yang biasanya disebut para feminis  dengan “Ketidakadilan gender” yang dijustifikasi agama ini, menjadi pangkal penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki. Citra Tuhan yang laki-laki, diakui atau tidak, adalah yang paling jelas sekaligus paling tak kentara pengaruhnya dalam pemahaman keagamaan.[15] Adanya teks-teks suci keagamaan yang secara harfiah memposisikan laki-laki sebagai pihak superior yang kemudian ditafsirkan secara literalistik-skripturalistik oleh para muffasir klasik semakin memperkukuh pandangan tentang seperioritas laki-laki atas perempuan. Banyak penafsiran agama yang sangat merugikan perempuan dan melanggengkan pembagian peran, fungsi, posisi perempuan dan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat.[16] Dampak penafsiran yang semacam itu menyebabkan adanya pembatasan-pembatasan bagi perempuan, seperti misalnya pembatasan dalam cara berpakaian, menjadi pemimpim,[17]dan mengakses dunia publik[18]. Selain itu juga dapat mendorong terjadinya kekerasan terhadap perempuan (misalnya suami memukul istri dengan alasan mendidik, laki-laki boleh poligami[19], perempuan haram hukumnya menolak ajakan suami untuk bersetubuh[20]. perempuan dikucilkan dalam komunitas gereja jika hamil sebelum menikah tanpa prosedur pengadilan, perempuan harus menjaga kesucian, dan masih banyak yang lainnya). Itulah sebabnya, dalam pandangan mereka, melalui pencitraan ini pada laki-laki ada tugas sebagai Nabi, ulama, imam, guru sufi dan semacamnya. Laki-laki juga berperan dalam jihad, azan, imam sholat, khutbah, persaksian, wali pernikahan, sampai perceraian dan rujuk. Sementara perempuan tidak. Sehingga secara teologis superioritas laki-laki atas perempuan semakin kokoh.[21] Pandangan yang mengakui ketidaksetaraan gender inilah yang kemudian melahirkan perbedaan peran gender secara fungsional dalam kehidupan sosial, dan melalui proses yang sangat panjang pada akhirnya memunculkan berbagai pemasungan terhadap perempuan dalam kehidupan. Ruang publik akhirnya dianggap sebagai milik laki-laki , sedangkan kaum perempuan ditempatkan dalam ruang domestik.[22]
b.      Adat-adat lokal
Adat-adat lokal yang memberikan kekuasaan kepada laki-laki untuk memiliki perempuan. Sehingga ketika masih muda perempuan dianggap milik bapaknya, setelah menikah milik suaminya, ketika tua milik anak laki-lakinya. Bagi masyarakat jawa perkawinan merupakan salah satu fase yang penting dalam menjalani proses kehidupan. Bagi anak perempuan, perkawinan pertama akan segera dipersiapkan saat setelah haid pertamanya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari anggapan masyarakat yang mengatakan bahwa seorang perempuan yang tidak segera menikah maka dirinya berarti seorang perempuan “nakal”, oleh karena itulah beberapa catatan Hildred Geertz mengungkapkan bahwa dalam keluarga tradisional masalah tersebut dipecahkan dengan mengawinkan anak perempuan justru sebelum akil balig, yakni ketika masih berumur 9 atau 10 tahun.[23] Karena laki-laki bertugas sebagai pemimpin, pelindung, pengayom, maka kewajiban perempuan dilekatkan dengan tiga nilai kebaikan, yakni merak ati, gemati, lan luluh, bertutur sapa dengan santun, pandai mengatur pakaian yang pantas, murah senyum, luwes gerak geriknya dan lumampah anut wirama, bertindak sesuai dengan irama.[24] Dalam tradisi jawa, perempuan memang layak untuk menempati posisi dipilih seperti pemikiran R. Ng. Ranggawarsito dalam Serat Cemporet :
karantenpun pawestri, muhung minangka embanan wadhahing satya kaot denten ugering sesatnya, azas wonten ing pria, wanodya bebasanipun swarga manut kewala (R.Ng. Ranggawarsito: 1980)[25]
Sejalan dengan serat tersebut maka ada beberapa watak perempuan yang menjadi pertimbangan laki-laki yaitu: bobot[26], bibit[27], dan bebet[28]. Superioritas laki-laki terhadap perempuan dalam masyarakat jawa sangatlah kuat sehingga perempuan jawa kerap mengalami sub-ordinasi (konco wingking), diskriminasi, kekerasan, marginalisasi dan labeling dalam masyarakatnya.
c.       Sistem pendidikan
Sistem pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam melanggengkan ketidakadilan gender ini lewat kurikulumnya yang bias gender misalnya melalui buku-buku pelajaran yang bias gender sebagaimana tergambar dalam kalimat “Bapak pergi ke Kantor, ibu memasak didapur” telah memperkuat konstruksi bahwa perempuan berada diranah domestik dan laki-laki diranah publik. Harus disadari sejak awal bahwa kurikulum yang ada tidak berpihak kepada perempuan. Dengan demikian, menghasilkan produksi pengetahuan dan cara pengajaran serta bahasa yang berpihak kepada laki-laki.[29] Konsep kurikulum, pertama: pendidikan anak perempuan disiapkan menjadi seorang “lady” bagaimana bersikap baik, beretika. Kedua: anak perempuan disiapkan untuk menjadi seorang perempuan yang baik, dan bagaimana menjadi perempuan yang patuh serta beragama yang kuat. Perkembangan berikutnya kurikulum untuk anak perempuan disiapkan untuk menjadi istri yang baik dengan segala pengajaran keterampilan domestic serta pengetahuan tentang kesehatan umum. Selanjutnya pada abad ke 20 kurikulum untuk anak perempuan berubah lagi menjadi terfokus pada pendidikan praktis, seperti mengetik, pendidikan resepsionis, sekretaris dan sebagainya.[30] Dampak dari konsep pendidikan yang dikembangkan oleh sistem pendidikan tersebut, membuat semakin menguatnya ketidakadilan gender terhadap perempuan.
d.      Sistem Hukum
Sistem hukum yang bias gender memperkuat pembagian peran gender dalam merugikan perempuan. Misalnya UU perkawinan Nomor 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga telah menyebabkan pemerintahan menetapkan pekerja perempuan tidak mendapatkan tunjangan keluarga karena bukan kepala keluarga. Akibatnya upah yang dibawa pulang oleh perempuan lebih kecil dibandingkan dengan upah laki-laki dengan pekerjaan yang sama karena mereka mendapatkan tunjangan keluarga. Komisi Nasional Perempuan mengungkapkan, ternyata ada 189 kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat hingga tingkat daerah, yang diskriminatif terhadap perempuan. Kebijakan atau peraturan daerah tersebut merampas kebebasan berekspresi, hak rasa aman karena mengkriminalisasi perempuan.[31]
e.       Sistem Politik
Sistem politik formal yang ada saat ini belum kondusif bagi perempuan untuk berpartisipasi di dalamnya. Walaupun tidak ada larangan perempuan berpolitik, tetapi dalam prakteknya kesempatan perempuan untuk menduduki posisi-posisi politik masih sangat dibatasi. Sulit dibayangkan perempuan akan sukses dalam sistem politik kekinian kecuali bila ia memang sudah mapan secara ekonomi dan dapat menunjukkan sikap Money Talk. Siapa yang pada akhirnya dapat masuk dalam pemilihan kepala daerah dalam politik perempuan? Paling tidak dapat diidentifikasi tiga hal :
a.       Mereka yang memiliki akses ekonomi yang luas atau dari kalangan ekonomi mapan.
b.      Mereka yang mempunyai etnis atau ras dan golongan agama tertentu yang diminati.
c.       Mereka yang mempunyai hubungan kekeluargaan yang kuat (KKN) dengan penentu kebijkan.[32]
f.       Sistem ekonomi
Sistem ekonomi yang tidak adil telah menempatkan perempuan sebagai objek dan menjadi korban di dalamnya. Misalnya sistem ekonomi kapitalis yang mengutamakan pengumpulan modal secara otomatis akan meminggirkan kelompok-kelompok miskin terutama perempuan yang tidak mampu bersaing di pasar bebas. Akibatnya perempuan akan semakin miskin dan tertinggal. Mereka hanya dijadikan alat dan komoditi yang dieksploitasi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
2.      Institusi-institusi yang melanggengkan ketidakadilan gender.
Beberapa institusi yang melanggengkan ketidakadilan gender di antaranya adalah:
a.       Keluarga
Keluarga merupakan institusi pertama dan utama yang mensosialisasikan nilai-nilai yang mengutamakan kaum laki-laki yang terlihat dari perlakuan yang berbeda yang diberikan keluarga terhadap anak laki-laki dan perempuan. Misalnya anak laki-laki boleh bermain  dengan bebas sementara anak perempuan harus membantu ibunya dirumah.
b.      Media Massa
Sosialisasi dan penyebaran informasi media massa merupakan salah satu alat yang paling efektif untuk menyebarkan dan mensosialisasikan konsep gender yang merugikan salah satu jenis kelamin dalam hal ini perempuan. Misalnya melalui film, iklan, dan sinetron disosialisasikan bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi karena perempuannya sendiri yang mengundang seperti memakai pakaian yang seronok, dan lain-lain.
III.             Bentuk-bentuk ketidakadilan gender
Masalah ketidakadilan gender ini dalam masyarakat dimana nilai-nilai patriakhi masih sangat kuat, akan lebih banyak dialami oleh kaum perempuan dibandingkan laki-laki. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang biasanya dialami oleh perempuan adalah[33] :
1.      Marginalisasi
Marginalisasi adalah proses pemiskinan perempuan yang mengakibatkan kemiskinan perempuan secara sosial maupun ekonomi. Misalnya, penggunaan mesin-mesin dalam sektor pertanian telah mengakibatkan perempuan di pedesaan telah kehilangan pekerjaan mereka.
2.      Diskriminasi
Pembedaan perlakuan terhadap seseorang atau sekelompok orang dikarenakan jenis kelamin, ras, agama, status sosial, atau suku. Misalnya, salah satu bentuk diskriminasi berbasis gender adalah memberikan keistimewaan kepada anak laki-laki untuk mendapatkan pendidikan lebih tinggi dibandingkan anak perempuan. Atau pembedaan upah buruh perempuan dan buruh laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama.


3.      Kekerasan
Kekerasan terhadap perempuan adalah serangan terhadap fisik, psikis dan seksual perempuan yang didasarkan pada keperempuanannya. Tindak kekerasan terhadap perempuan ini berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan. Pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan. Bentuk-bentuk kekerasan adalah :
a.       Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Contohnya; pemukulan, penyiksaan dll
b.      Kekerasan psikis, adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat. Contohnya; suami memaki istrinya dengan kata-kata yang membuat istri sakit hati dan merasa rendah hati.
c.       Kekerasan seksual, adalah perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu. Contohnya adalah pemaksaan suami terhadap istri untuk berhubungan seks.
4.      Stereotype
Stereotype adalah pelabelan negative terhadap jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan. Karena konsep gender yang menempatkan perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki maka label yang biasanya dilekatkan pada perempuan adalah perempuan lemah, perempuan bodoh, dan perempuan emosional. Pelabelan ini menyebabkan perempuan sukar untuk meningkatkan kepercayaan dirinya.
5.      Multi beban atau beban ganda
Beban ganda adalah beban perempuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan reproduksi di dalam rumah tangganya, sekaligus melakukan pekerjaan-pekerjaan produktif untuk mendapatkan penghasilan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan sosial seperti gotong royong di komunitasnya. Akan tetapi walaupun perempuan sudah bekerja hampir duapuluh empat jam setiap harinya, pekerjaan-pekerjaan reproduksi dan sosial yang mereka lakukan tidak mempunyai nilai, sementara kerja produksi yang mereka lakukan dikatakan sifatnya membantu saja. Dengan kata lain perempuan hanya mendapatkan beban tetapi tidak mendapatkan keuntungan dari pekerjaan-pekerjaannya tersebut.
6.      Sub-ordinasi
Sub-ordinasi adalah menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki atau menempatkan perempuan sebagai kelas dua. Subordinasi ini bersumber pada masih kuatnya anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang irrasional dan emosional sehingga tidak mampu memimpin dan harus selalu di bawah kaum laki-laki.
Mewujudkan Kesetaraan dan keadilan Gender di tengah masyarakat.
Kesetaraan gender adalah kesamaan peluang dalam bidang sosial, politik dan ekonomi antara laki-laki dengan perempuan. Dengan memperoleh kesamaan peluang, setiap orang dapat mengembangkan potensi dirinya secara optimal.[34] Keadilan gender adalah proses yang adil bagi seluruh perempuan dan laki-laki. Agar hal ini terwujud, diperlukan langkah-langkah untuk menghentikan berbagai hal yang secara sosial dan menurut sejarah telah menghambat perempuan dan laki-laki bisa berperan dan menikmati hasil dari peran yang dimainkannya. Keadilan gender akan mengantarkan kesetaraan gender.[35]
I.          Prinsip-prinsip dalam menegakkan keadilan dan kesetaraan gender
Beberapa prinsip yang harus dimiliki dalam memperjuangkan keadilan gender kenapa pentingnya untuk menegaskan prinsip-prinsip perjuangan karena untuk menghindari dampak yang berlawanan dengan misi perjuangan, yaitu mencapai masyarakat yang berkeadilan sosial, berkeadilan gender, dan pluralis.[36] Berikut akan kita uraikan prinsip-prinsipnya adalah[37] :
1.      The personal is political atau pribadiku adalah politikku. Perempuan mempunyai hak untuk mengangkat permasalahan-permasalahan pribadi agar menjadi masalah publik, seperti perkosaan suami terhadap istri.
2.      Keadilan sosial dan keadilan gender. Keadilan sosial adalah berpihak kepada kelompok-kelompok yang marginal seperti buruh, nelayan, petani, miskin kota, anak jalanan, dan lain-lain. Keadilan gender adalah keberpihakan terhadap kelompok yang dimarginalisasi berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan di segala sektor.
3.      Kesetaraan.
4.      Demokratis adalah semua pihak mempunyai kerterlibatan secara otonom dalam pengambilan keputusan.
5.      Anti kekerasan adalah melawan segala bentuk pemaksaan secara fisik, psikis, maupun seksual.
6.      Pluralis adalah menghargai dan terbuka terhadap perbedaan agama, suku, ras, ideologi, orientasi seks, jenis kelamin, kelas sosial, dan suku bangsa.
7.      Affirmative action adalah membuka bagi perempuan untuk mengejar ketertinggalan yang diakibatkan oleh budaya patriakhi.
8.      Berpihak kepada korban (perempuan): mengakui adanya penindasan terhadap perempuan dan berusaha untuk membebaskannya.
9.      Solidaritas adalah membangun empati yang diwujudkan dalam tindakan konkrit untuk membebaskan kelompok yang dilemahkan (perempuan)
Prinsip-prinsip ini bukan semata-mata rumusan tetapi merupakan nilai-nilai yang harus dimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari baik pada diri sendiri, keluarga, masyarakat maupun Negara. Prinsip-prinsip diatas mempunyai kaitan sama lainnya.


II.       Upaya untuk mewujudkan keadilan dan kesataraan gender
Untuk mencari jalan keadilan dan kesetaraan maka kita membutuhkan pergeseran paradigma atau shifting paradigm[38] sehingga kita mampu realitas sosial secara utuh, dalam paper ini saya menawarkan beberapa alternatif  untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam masyarakat dan realitas kekinian.
1.      Mengembangkan tafsir agama yang berpihak kepada perempuan
Membaca ulang atas tafsir-tafsir yang selama ini digunakan untuk melegitimasi kekerasan terhadap perempuan dan membangun kembali tafsir yang berperspektif perempuan. Hermeneutika berperspektif perempuan yang bisa digunakan dalam mendekati teks-teks Kitab suci adalah hermeneutika kecurigaan dan hermeneutika kenangan. Kita mencurigai teks-teks yang selama ini digunakan untuk menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dan mencoba menemukan teks-teks yang bisa menampilkan pembebasan kaum perempuan dan kesetaraannya yang sejati dengan kaum laki-laki. Teks-teks suci yang dapat digunakan untuk membebaskan perempuan misalnya, perempuan boleh menjadi pemimpin[39], kesetaraan manusia dihadapan Allah,[40] dan masih banyak teks-teks suci lainnya yang bisa di kembangkan untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.
Tafsir-tafsir agama yang berpihak kepada perempuan penting diimplementasikan dan di sosialisasikan ke tengah masyarakat melalui pemuka-pemuka agama sehingga agama tidak selalu dipersalahkan karena di pandang dari satu sisi saja, maka penting agama di pandang dari berbagai dimensi dan kacamata sehingga agama menjadi jalan pembebesan bagi perempuan yang mengalami korban kekerasan, diskriminasi, marginalisasi, sub-oradinasi dan pelabelan yang membelenggu perempuan selama ini.
2.      Mengembangkan komunitas pendidikan alternatif untuk perempuan
Affirmative action perlu dilakukan untuk mengejar ketertinggalan kapasitas dan kualitas pendidikan perempuan. Seiring dengan menurunnya kualitas pendidikan berdasarkan hasil survei yang dilakukan Political and Economic Risk Consultans (PERC) tahun 2001 tentang kualitas pendidikan di Asia menempatkan Indonesia pada posisi 12 dari 12 negara yang disurvei berada pada posisi di bawah Vietnam.[41] Maka untuk mengentas buta huruf bagi kaum perempuan sangat lamban kalau menunggu pemerintah untuk menuntaskan itu semua, pendidikan alternative untuk perempuan merupakan salah satu jalan untuk perempuan Indonesia melek huruf. Namun sekolah altenatif perempuan harus dikembangkan konsep dasar yang memuat prinsip dan nilai-nila: kemerdekaan, kesetaraan, humanism, pluralis, dan transformative.
Komunitas atau sekolah alternative perempuan juga harus mampu menumbuhkan sisterhood dalam diri masing-masing induvidu sehingga perjuangan untuk memperoleh ketidakadilan akan semakin ringan ketika dilakukan dalam bentuk yang telah terorganisir. Dalam metode yang dilakukan, pendidikan alternative untuk perempuan haruslah tidak dikotomis yakni memisahkan antara ruang publik dan domestik, namun justru the personal is political adalah semangat yang harus di bawa. Mereka harus paham bahwa persoalan perempuan merupakan persoalan politik pula, karenanya tidak harus dianggap sebagai rahasia yang harus disimpan rapat-rapat melainkan dicarikan jalan keluarnya.  Sekolah perempuan tidak harus dibangun secara fisik dengan menggunakan sarana dan prasarana yang ada, bahkan sekolah ini dapat berjalan ketika kelompok perempuan petani melakukan kegiatan belajar, dengan menggunakan gubuk-gubuk disawah atau rumah-rumah mereka. Sekolah alternatif adalah salah satu metode pendidikan yang seharusnya sama dengan pendidikan atau sekolah formal tetapi sekali lagi hal ini memang perlu perjuangan untuk menerobos mainstream pendidikan di negeri ini.[42] Melalui pendidikan alternative ini perempuan akan terbebaskan dari budaya patriakhi selama ini sudah membelenggu perempuan berabad-abad lamanya.
3.      Mendorong pengarusutamaan gender di setiap dimensi kehidupan.
Pengarusutamaan gender merupakan agenda penting walaupun membutuhkan waktu yang lama bahkan cenderung susah terealisasi karena berhadapan dengan berbagai rintangan, namun pengarusutamaan gender tetap mesti dilakukan, walaun program dari pemerintah 2015 untuk mencapai target MDGs. Pengarusutamaan gender mesti dimulai dari ranah keluarga, masyarakat, sekolah, Negara, sehingga perempuan tidak akan mengalami kekerasan, diskriminasi, marginalisasi, sub-ordinasi, pelabelan dan beban ganda. Relasi yang tidak timpang, relasi yang adil dan setara akan mengantarkan keadilan dan kesetaraan gender.
Penutup
Perempuan adalah matahari yang tak pernah tenggelam dengan keadilan dan kesetaraan gender perempuan akan melihat dunia”.
Untuk menuntaskan paper ini, kita sampai pada titik klimaksnya. Dipenutup ini saya hanya berharap ke pada kita semua, untuk membuka mata persoalan ketidakadilan gender bukanlah persoalan yang sederhana, dan acapkali kita memandang bahwa persoalan gender diserahkan kepada perempuan saja. dan tidak menutup kemungkinan kita adalah pelaku kekerasan, diskriminasi, marginalisasi, sub-ordinasi, melabelkan atau kita bagian dari yang melanggengkan budaya patriakhi untuk itu saya berharap paper ini hadir untuk menguak mata hati kita.
Keikutsertaan laki-laki dalam mendobrak budaya patriakhi dan menjadi mitra perempuan yang adil itu sangat penting, berbicara keadilan gender atau berdiskusi tentang keadilan gender tak sebatas dibangku diskusi namun sebuah ruh dan nilai yang harus di terjemahkan oleh kita bersama dalam hidup ini.











Daftar Pustaka:
Buku :
Nawawi, Imam. Riyadhus Shalihin. Bandung: JABAL, 2010
Abdullah, Zulkarnaini. Mengapa Harus Perempuan ?. Yogyakarta: Arruzz, 2003
Ahmad Muda, Fauzi. Perempuan Hitam Putih: Pertarungan Kodrat Hidup Vis a Vis Tafsir kebahagian. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007
Mustaqim, Abdul. Paradigma Tafsir Feminis Membaca Al-Qur’an dengan Optik Perempuan: Studi Pemikiran Riffat Hasan tentang Isu Gender dalam Islam. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2008
Musdah Mulia, Siti. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: Gramedia, 2004
Saleh Fatma dan Musthafa al-Qazwini. Perempuan Amerika Menggugat Islam, Terjemahan dari A New Perspestive: Women in Islam Fatma Saleh and Sayyid Musthafa al Qazwini, alih bahasa: Arif Mulyadi, Fitria al Habsyi. Jakarta: Madia Publisher, 2008
Dwi Asriani, Deshinta. Kesehatan Reproduksi dalam Bingkai Tradisi Jawa: Pengalaman Perempuan Petani Gunung Kidul. Yogyakarta: PKBI DIY, 2010
Soetjipto, Ani Widyani. Politik Perempuan Bukan Gerhana. Jakarta: Kompas, 2005
Madjid, Nurcholis (et.al). Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern Respon dan Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani. Jakarta: Media Cita, 2002
Tong, P Rosemarie. Feminist Thought: Pengantar Paling Konfrehensif Kepada aliran utama pemikiran feminist, (sumber terjemahan: Feminist Thought: A more comprehensive introduction, second edition, westview press: Colorado, 1998). Yogyakarta: Jalasutra, 2008
Muchtar Yanti, Missiyah, Modul Pelatihan Untuk Menumbuhkan dan Meningkatkan Sensifitas Keadilan Gender.  Jakarta: Kapal Perempuan, 2005
Muchtar Yanti, Lili Pulu, Fitri Sunarto, Salbiyah. Modul Pendidikan Adil Gender Untuk Perempuan Marginal. Jakarta: Kapal Perempuan, 2006
Rukmini, Mimin (ed). Modul Pelatihan Advokasi Penganggaran Berbasis Kinerja Responsif Gender. Jakarta: PATTIRO, 2006
Nurul Bariyah, oneng dan Siti ‘Aisyah. Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan demi Keadilan (Respon Muhammadiyah). Jakarta: Komnas Perempuan, 2009
Iswanti, Ignatius L. Madya Utama. Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan demi Keadilan (Respon Katholik). Jakarta: Komnas Perempuan, 2009
Hidayat Rachmat (dkk). Wajah Kekerasan : Analisis atas data Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Riffka Annisa tahun 2000 – 2006. Yogyakarta: Riffka Annisa WCC, 2009
Arivia Gadis, Feminisme: sebuah Kata Hati. Kompas Media Nusantara, Jakarta: 2006
Jurnal, Artikel, Media Elektronik :
Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5 dan 6, Vol V. 1994
Jurnal Perempuan 33. Perempuan dan Pemulihan Konflik. 2004
Jurnal Perempuan 44. Pendidikan Alternatif Untuk Perempuan. 2005
Jurnal Perempuan 61. Pendidikan Media dan Gender. 2008
Jurnal Perempuan 63. Catatan Perjuangan Politik Perempuan. 2009
Jurnal Perempuan 66. Pendidikan Untuk Semua. 2010.
Jurnal Studi Gender dan Islam Musawa. Vol.5, No. 4, Oktober 2007
http://www.lenteratimur.com/aksi-perempuan-melawan-kekerasan-berbasis-agama/
http://www.suarapembaruan.com/home/ternyata-ada-189-kebijakan-diskriminasikan-perempuan/1427


[1] Dwi Rubiyanti Khofifah, Aksi Perempuan Melawan Kekerasan berbasis Agama, pubdate : 25/11/10
[2] Tim Penulis, Perempuan Ahmadiyah dalam Laporan Pemantauan HAM Komnas perempuan, Perempuan dan Anak Ahmadiyah : Korban Diskriminasi berlapis, 2008 , page. 12
[3] Julius Lawata, Fakta Tak Terlihat Posisi perempuan dalam Konflik sosial di Maluku, dalam MB Wijaksana,dkk…Red. Jurnal Perempuan 33; Perempuan dan Pemulihan Konflik, 2004, hal. 11-12
[4] Tim Penulis, Tak hanya di Rumah: Pengalaman Perempuan akan kekerasan di Pusaran Relasi kekuasaan yang timpang, dalam Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2009. 2010, page. 5
[5] Ibid
[6] Iwan Fals, Serenade, dalam Tim Penulis, Modul Pelatihan untuk menumbuhkan dan meningkatkan sensitifitas keadilan gender, 2005. Hal. 54
[7] Tim penulis, Bahan Bacaan Untuk Modul Gender, dalam Modul Pendidikan Gender Untuk Perempuan Marginal, 2006, hal. 151
[8] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformsi Sosial, 1996
[9] ibid
[10] Tim penulis, Bahan Bacaan Untuk Modul Gender, dalam Modul Pendidikan Gender Untuk Perempuan Marginal, 2006, hal. 152
[11] Kamla Bhasin, dalam bukunya Understanding Gender, 2000
[12] Tim penulis, Bahan Bacaan Untuk Modul Gender, dalam Modul Pendidikan Gender Untuk Perempuan Marginal, 2006, hal. 123
[13] Tim Penulis, Perempuan Ahmadiyah dalam Laporan Pemantauan HAM Komnas perempuan, Perempuan dan Anak Ahmadiyah : Korban Diskriminasi berlapis, 2008 , page. 12
[14] Nurul Agustina,” Tradisionalisme Islam dan Feminisme” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5 dan 6, Vol V. 1994. hal, 53
[15] Carol P Christ dan Judith Plascow (eds), Woman Spirit Rising: a Feminist  Reader in Religion (San Fransisco: Harper & Row Publishing, 1979), page. 4
[16] Dalam Kitab Talmud diesbutkan bahwa akibat pelanggaran Eva (Hawa) di surga maka kaum perempuan secara keseluruhan akan menanggung  sepuluh beban penderitaan :
1.       Perempuan akan mengalami siklus menstruasi, yang sebelumnya tidak pernah dialami Eva.
2.       Perempuan yang pertama kali melakukan persetubuhan akan mengalami sakit.
3.       Perempuan akan mengalami penderitaan dan mengasuh dan memelihara anak-anaknya. Anak-anak membutuhkan perawatan, pakaian, kebersihan, dan pengasuhan sampai dewasa. Ibu merasa risih manakala pertumbuhan anak-anaknya tidak seperti yang diharapkan.
4.       Perempuan akan merasa malu terhadap tubuhnya sendiri.
5.       Perempuan akan merasa tidak leluasa bergerak ketika kandungannya berumur tua
6.       Perempuan akan merasa sakit pada waktu melahirkan
7.       Perempuan tidak boleh mengawini lebih dari satu laki-laki
8.       Perempuan masih akan merasakan keinginan hubungan seks lebih lama sementara suaminya sudah tidak kuat lagi
9.       Perempuan sangat berhasrat melakukan keinginan berhubungan seks terhadap suaminya, tetapi amat berat menyampaikan hasrat itu kepadanya.
10.    Perempuan lebih suka tinggal dirumah.
[17] Ayat al-rijal qawwamu ‘ala al-nisa’ (QS. Al-Nisa’: 34) misalnya, dipahami oleh para mufassir klasik sebagai penegasan atas keunggulan kaum laki-laki atas kaum perempuan. Kata qawwamun dalam ayat diatas biasanya di artikan sebagai “penanggung jawab, pemimpin, penguasa, penjaga atau pelindung perempuan.
[18] Ayat “dan hendaklah kamu tetap berdiam di rumah kamu” (QS. Al-Ahzab: 33)
[19] Ayat “Nikahilah perempuan yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.” (QS. An-Nisa’: 3)
[20] Hadist “Dari Abu Hurairah ra., dia berkata: Rasululullah SAW bersabda: “apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat peraduan, kemudian istrinya menolak, maka malam itu ia berada dalam kemurkaan Allah, bahkan para malaikat melaknatnya sampai datangnya pagi.”. (HR. Bukhari dan Muslim)
[21] Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir feminis membaca Al-Qur’an dengan Optik perempuan : Studi pemikiran Riffat Hasan tentang isu Gender dan islam, 2008. Hal, 114-115
[22] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformsi sosial, 1996. Hal, 21-23
[23] Hildred Geertz, Keluarga Jawa, 1963. Hal, 59
[24] Suwardi Endraswara, Rasa Sejati: Misteri Seks Dunia kejawen, 2006. Hal. 68-70
[25] Ibid, hal, 64-65
[26] Bobot artinya perempuan perlu diketahui dengan jelas asal-usul keturunannya yang terbagi tujuh macam yakni:
1.       Keturunan darah biru atau bangsawan jawa yang masih memiliki derajat dalam hidupnya.
2.       Keturunan para ahli agama
3.       Keturunan petapa atau pendeta
4.       Keturunan para ilmuwan
5.       Keturunan para tukang yang memilik keterampilan dalam bidang seni
6.       Keturunan prajurit atau tentara.
7.       Keturunan para petani yang memiliki etos kerja tinggi dalam mengelola sawah.
[27] Bibit maksudnya Kualitas hayati yang dipertahankan adalah masalah keturunan.
[28] Bebet artinya perempuan harus memiliki budi pekerti yang baik.
[29] Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah kata Hati. 2006, hal. 430
[30] Ibid, hal 424
[31] Andy Yentriayani, “ternyata ada 189 kebijakan diskriminasikan perempuan” pubdate: 26/11/10 08:56
[32] Gadis Arivia, “Feminisme: sebuah Kata Hati”, 2006. hal, 291
[33] Tim penyusun, “Pengertian dan Ruang Lingkup Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender”, dalam Modul Pendidikan Adil Gender untuk Perempuan Marginal, 2006. hal, 127 - 130
[34] Tim penyusun, Gender dan Kemiskinan, dalam Modul Pelatihan Advokasi Penganggaran Berbasis Kinerja Responsip Gender, 2006. hal, 31
[35] ibid
[36] Tim penyusun, Modul 12. Prinsip-prinsip memperjuangkan keadilan gender, dalam Modul pelatihan untuk menumbuhkan dan meningkatkan sensitifitas keadilan gender, 2005. hal, 128 – 129
[37] ibid
[38] Amin Abdullah, disampaikan dalam perkuliahan mahasiswa pascasarjana program studi agama dan filsafat konsentrasi studi agama dan resolusi konflik pada hari senin tanggal 3 januari 2010
[39] Dalam Perjanjian lama, (Keluaran 15:20). QS. al-Taubah (9): 6
[40] QS. al-Dzariyat (51):56, QS. al-Annisa’ (4): 124, QS. al-Taubah (9): 72, QS. al-Nahl (16): 97, QS. al-Hujarat (49): 13
[41] Iva Sasmita, Pendidikan Alternatif perempuan: perlawanan terhadap mainstream pendidikan, dalam Jurnal Perempuan 44, 2005, hal, 7 - 11
[42] ibid

Tidak ada komentar: