Jumat, 30 Oktober 2009

Memungut Remah di Negeri yang Makmur

Matahari tepat di atas kepala ketika Solih (30) turun lagi ke sawah setelah sejenak beristirahat. Kaus lengan panjang yang telah lusuh dipakainya untuk melindungi diri dari sengatan sinar matahari. Lumpur sawah tak seberapa lama telah membenamkan kaki-kakinya.

Buruh tani di Desa Sukamulya, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Cianjur, itu masih harus bekerja hingga pukul 16.00, sesuai kesepakatannya dengan seorang warga Bandung, si pemilik sawah itu. "Sehari upahnya Rp 35.000. Namun, dalam sebulan rata-rata hanya bisa bekerja 15 hari karena tergantung pada yang membutuhkan tenaga saya," kata Solih.

Dengan pemasukan sekecil itu, Solih mengaku sangat sulit memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Apalagi, istrinya tidak bekerja dan ada delapan anak kandung mereka yang mesti dipenuhi kebutuhannya. "Yang empat sudah sekolah, yang empat lagi masih kecil-kecil," ujar warga Kampung Marti, Desa Sukamulya, itu.

Solih mengatakan, setiap kali mendapat upah dari bekerja sebagai buruh, yang paling dahulu dipenuhi adalah kebutuhan dapur, baru setelah itu kebutuhan anak-anaknya yang sudah sekolah. "Yang penting bisa makan setiap harilah. Kebutuhan lainnya nanti dipikir belakangan setelah kebutuhan makan terpenuhi," ujarnya.

Menjadi buruh tani sebetulnya bukan pilihan Solih. Seandainya bisa memilih, Solih pasti akan memilih menjadi juragan yang memiliki sawah luas. Namun, apa daya, dari generasi orangtuanya, kepemilikan sawah beralih ke orang-orang luar Cianjur.

Solih sebetulnya memiliki pilihan lain, yakni menyewa sawah dan kemudian menanaminya dengan padi. Sayangnya, Solih mengaku tak memiliki modal. Keluhan hampir serupa diutarakan buruh tani lainnya, Saripudin (50), yang bekerja di sebuah lahan sawah Desa Songgom, Kecamatan Gekbrong, milik seorang warga Jakarta.

"Pada musim tanam, yang bisa kami harapkan adalah ketika mengolah lahan, merawat padi, dan memanen. Selain itu, hampir tidak ada pekerjaan lagi di sawah. Terpaksa, ya, ke hutan mencari kayu bakar untuk dijual," kata Saripudin.

Penggunaan zakat

Para buruh Cianjur yang mengais rezeki di sawah-sawah milik orang luar Cianjur itu bagai memungut remah-remah di negeri yang makmur. Catatan sejarah menunjukkan, sejak zaman kolonial, Cianjur sudah menjadi lumbung padi bagi Jawa Barat. Dalam bukunya, The History of Java, Thomas Stamford Raffles yang menjadi gubernur jenderal di Jawa menyatakan, pada tahun 1813, Cianjur sudah menghasilkan padi bersama Indramayu dan Karawang.

Penasihat Badan Amil Zakat Cianjur Choerul Anam mengatakan, pemberantasan kemiskinan di Cianjur bisa didukung melalui penggunaan zakat yang dihimpun dari masyarakat Cianjur yang mayoritas Muslim.

Tahun 2009 ini, zakat yang terkumpul di Cianjur sebesar Rp 2 miliar, naik dari tahun sebelumnya Rp 1,3 miliar. "Manajemen zakat memang harus terus dibenahi karena memang sangat signifikan mendukung pemberantasan kemiskinan. Dari zakat yang terkumpul, 10,5 persen di antaranya sudah digunakan untuk keperluan produktif. Ke depan, semoga persentasenya terus naik," kata Choerul. (A HANDOKO)

sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/30/1121483/memungut.remah.di.negeri.yang.makmur


Tidak ada komentar: