Kamis, 05 November 2009

Jender di Masyarakat Jawa Kuno

Dalam perspektif sejarah, kesetaraan jender antara kaum perempuan dan kaum laki-laki sesungguhnya bukan hal baru. Perempuan Indonesia pada masa Mataram Kuno sampai masa Majapahit sudah memperoleh kedudukan dan peranan setara dengan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan.

Pada masa Jawa Kuno, begitu Titi Surti Nastiti dalam disertasinya, ”Kedudukan dan Peran Perempuan dalam Masyarakat Jawa Kuno Abad 8-15 Masehi” menyimpulkan, kaum perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan sama walaupun dari segi kuantitas tidak sebanyak kaum laki-laki. Menurut peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional itu, kesetaraan dicapai dalam meraih jabatan publik, kegiatan sosial, ekonomi, dunia kesenian, dan lainnya.

Di bidang pemerintahan, istri bisa mempunyai kekuasaan lebih tinggi daripada suaminya. Contohnya, Wikramawarddhana ketika mengeluarkan prasasti Patapan II (1385 M) dan prasasti Tirah atau Karang Bogem (1387 M) yang menggunakan lambang daerah Lasem, daerah kekuasaan Kusumawarddhani, istrinya. Pada saat itu, Wikramawarddhana belum menjadi raja. Penggunaan lambang tersebut mencerminkan kekuasaan Kusumawarddhani lebih besar daripada Wikramawarddhana.

Hal sama terjadi pada Bhre Wirabhumi yang mendapat gelar dari istrinya, Nagarawarddhani. Sebelum menjabat sebagai penguasa Lasem, Nagarawarddhani menjabat penguasa daerah Wirabhumi.

Nastiti melakukan kajian berdasarkan data tekstual dan artefaktual. Data tekstual berupa prasasti dari masa Mataram Kuno sampai masa Majapahit dalam bentuk teks sastra dan kumpulan teks, tertua seperti Ramayana dari masa Rakai Watukura Dyah Balitung sampai teks sastra/hukum dari masa Majapahit. Data artefaktual yang sezaman menggunakan arca, figurin, dan relief.

Kesetaraan kedudukan dan peranan sejak masa Mataram Kuno sampai masa Majapahit berakar pada budaya yang tidak membedakan hak waris di semua kalangan. Hanya ada aturan tertentu yang harus diikuti. Misalnya, untuk menduduki posisi putra/putri mahkota harus anak pertama dari permaisuri.

Contohnya, Sri Rajasawarddhani yang dalam prasasti Kancana/Bunur B menyebutkan, ia anak bungsu Hayam Wuruk. Dari kakawin Nagarakrtagama diketahui yang disebut sebagai Kusumawarddhani adalah putri mahkota. Putra pertama Hayam Wuruk seperti disebutkan teks Pararaton adalah Bhre Wirabhumi. Karena bukan putra dari permaisuri, ia tidak dapat menjadi putra mahkota.

Hak waris

Tidak adanya perbedaan hak waris tersebut memengaruhi konsep domestik dan publik sehingga laki-laki maupun perempuan dapat menjabat jabatan publik asalkan mengikuti ketentuan.

Dalam data prasasti, baik laki-laki maupun perempuan banyak menduduki jabatan pemerintahan sebagaimana dijumpai pada prasasti Juruhan (876 M) dan prasasti Waringin Pitu (1477 M).

Perempuan pada masa itu juga sudah melibatkan diri dalam kegiatan sosial sebagai pendamping suami maupun sebagai diri sendiri. Dalam prasasti Wulig (935 M), Rakai Mangibil, selir Mpu Sindok, meresmikan tiga bendungan. Sedangkan pada relief candi sering ditampilkan raja atau bangsawan ditemani perempuan.

Di bidang ekonomi, terutama kaum perempuan dari kalangan rakyat biasa, kiprah membantu perekonomian keluarga sudah berlangsung lama. Misalnya, menggarap sawah atau ladang dan berniaga sehingga menjadi saudagar (banigrami). Mereka tetap sebagai ibu rumah tangga. Di sela-sela kegiatannya, mereka juga membuat kerajinan untuk digunakan sendiri atau dijual.

Perempuan bukan sebagai alat hiburan semata, tetapi juga menjadi sumber penghasilan keluarga dan ada perempuan profesional dalam bidang seni pertunjukan.

Namun, walaupun kaum perempuan pada masa itu sudah menikmati kesetaraan hampir di semua aspek kehidupan, dalam hal tertentu, terutama di bidang keagamaan, perannya masih lebih rendah dari kaum laki-laki dalam bela dan sati tukon.

Perempuan tidak dapat menjabat sebagai pejabat tertinggi keagamaan atau menjadi kawi. Jika ditelusuri asal muasalnya, adat ini berasal dari kebudayaan India.

Nastiti mengakui, selama meneliti, ia sering kali mengalami kesulitan dalam membedakan jenis kelamin obyek yang diteliti. Apalagi untuk data artefaktual.

Menurut dia, jika pengamatan terhadap raut muka yang dilakukan tidak saksama, bisa menimbulkan kesalahan penafsiran jenis kelaminnya, mengingat raut muka orang tersebut berasal dari raut muka asing, seperti bangsa China dan India.

Untuk membedakan jenis kelamin, ibu dua anak buah perkawinannya dengan Djainuddin Djafar, PhD ini berpegang pada tiga hal. Pertama, jika namanya berakhiran vokal panjang. Kedua, berdasarkan kekerabatan seperti rai/ibu atau nini (nenek), dan, ketiga, berdasarkan kata anakwi dan wadwan. Kedua kata itu digunakan untuk menyebut nama pejabat perempuan atau istri seorang pejabat.

Her Suganda Anggota Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat

sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/05/03005787/jender.di.masyarakat.jawa.kuno

Tidak ada komentar: